Karawang Timur, Jawa Barat, ruangenergi.com- Langkah besar Toyota Indonesia melalui Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) memperkenalkan kepada publik termasuk media massa di sektor energi tentang mobil berbahan bakar hidrogen, patut diacungkan jempol.
Ruangenergi.com bersama sejumlah media peliput sektor energi diberikan kesempatan berkunjung ke TMMIN dan mendapatkan pemaparan tentang mobil listrik plus mobil berbahan bakar hidrogen produksi Toyota.
Adalah Indra Chandra Setiawan, Engineering Management Divisi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ketika ditanyakan oleh ruangenergi.com, apa saja harapan dari Toyota kepada Pemerintah Indonesia terkait kebijakan mobil berbahan hidrogen lebih kepada keekonomian dari harga energinya.
Di Thailand, Toyota mencoba mobil battery electrical vehicle (BEV) dengan mengecas di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan juga mencoba fuel cell electric vehicle (FCEV) yang menggunakan gas hidrogen sebagai bahan bakarnya.
“Hasil uji coba, 100 kilometer dibutuhkan 1 kilogram hidrogen untuk level mobilnya sedan. Jadi kalau kita mau menempuh 600 kilometer, berarti perlu 6 Kg (hidrogen). Kalau 6 Kg ini bicara mau head to head, artinya si listriknya berapa perKwH, ketimbang pakai hidrogen. Dia akan mempunyai opsi, mau pakai Fuel Cell atau BEV, tergantung dekatan rumahnya dengan SPKLU atau Stasiun Hidrogen? Hitungan kita kalau bisa 80 ribu per kilo atau lebih murah, maka itu semua switch dengan gampang.Cuma di Indonesia ini terkadang dibandingkan dengan sesuatu yang disubsidi.Lebih sulit lagi..hahah,” kata Indra, Senin (13/04/2025), di Karawang, Jawa Barat.
Indra menjelaskan, jika bicara total cost of ownership (TCO), dibanding dengan Pertalite apalagi dari Solar yang B40, ya tidak bisa kemana-mana teknologi baru.
“Artinya energy policy harus disertai dengan keekonomian. Apalagi new technology pasti butuh new investment. Mungkin dibeberapa negara, ada mekanisme; ‘ya udah kamu mau invest berapa, negara bantuin investasinya sehingga cuma running cost’. Jadi capex-nya disubsidi. Nah kalau fossil fuelnya disubsidi juga, kemudian mereka sudah achieve economic scale nya, ibaratnya di Saudi ya harga minyak per barel berapa misalnya, 60 dollar.Biaya produksinya kan (di Saudi) cuma less than 10 dollar. Jadi 50 dollar per barel, margin mereka gede sekali. Nah kalau EV disubsidi lagi, tidak akan nongol new energy, gak akan pernah achieve part on par gitu. Nah ini yang secara energy policy harus balance lah. Bagaimana kedua yang eksisting energy bersama new energy ini bisa saling diberikan opportunity yang sama,” ungkap Indra.
Itu sebabnya, Indra mengingatkan badan usaha jangan lagi pakai yang subsidi. Kalau tidak akan susah berkembang new technology.
“Jadi dari saya sih, harapannya bisa bertahap, ada mekanisme tertentu untuk bisa jamin investasi di private sector. Bisa lewat capex (capital expenditure) nya di support. Opex (operation expenditure) mungkin gak usah ya, tapi Capex-nya bisa disubsidi itu at lease bisa menurunkan beban untuk nanti apple to apple comparation,” tegas Indra.
Di sisi lain, Indra memaparkan pengguna mobil listrik memang terus tumbuh. Hal ini disebabkan berbagai faktor, terutama karena banyak muncul produk mobil listrik harga terjangkau.
“Tadinya kalau dilihat baterai itu per kWh di atas 1.000 dolar Nah berapa tahun belakang dengan economic of scale, akhirnya harga baterai baterai per kWh bisa lebih murah. Tambah lagi ketika China mengembangkan yang enggak menggunakan nikel, mangan, cobalt tapi menggunakan ferro, akhirnya sekarang, data yang saya punya less than 100 dolar per kWh,” tutur Indra lagi.
Ia mengatakan hal itu bikin penetrasi mobil listrik menjadi sangat cepat, terutama untuk segmen kendaraan penumpang. Hal ini yang dinilai Toyota dapat membuka celah bisnis baru menghadirkan kendaraan hidrogen untuk segmen niaga atau komersial.
“Nah jadi untuk mobil penumpang, dengan kecepatan introduction charging versus station akhirnya yang di dunia memang akselerasinya lebih cepat yang EV Dibandingkan FCEV (fuel cell electric vehicle/mobil listrik hidrogen).Namun kami tidak berhenti di situ saja. Karena saya sampaikan kalau misalnya satu jalan buntu, ya kamu cari jalan lain, karena (basis) teknologinya sama. Nah bagaimana kamu pivoting ke misalnya hidrogen untuk heavy duty truck,” kata Indra menambahkan.
Indra beranggapan akan lebih masuk akal kendaraan komersial menggunakan teknologi listrik hidrogen dari pada berbasis baterai. Pihak Toyota pun telah melakukan riset terkait hal itu sejak 2023 di Thailand.
“Karena terus terang di heavy duty itu saya sendiri enggak yakin, bahkan bila (baterai) itu murah, baterai itu mau berapa ton yang ditaruh di dalam mobil. Karena terus terang ya misalnya punya truk 10 ton, baterainya saja udah dua ton. Pengusaha mana mau kehilangan dua ton ini,” ucap dia.
Masuk menggunakan teknologi hidrogen ke kendaraan komersial juga diamini menantang. Alasannya, Indonesia telah memiliki bahan bakar subsidi alternatif murah yang biasa diandalkan para pengusaha untuk kendaraan komersial diesel yaitu solar.
“Nah kalau di Indonesia Agak sulitnya lagi di sini terus terang sudah punya alternatif Biodiesel, artinya secara emisi dengan close to carbon Itu udah 40 persen lebih murah plus solarnya disubsidi Jadi Rp6.800 nah ini tantangan terberat kalau disuruh head to head. Kalau sama Hydrogen dibenturkan dengan biodiesel Karena infrastruktur yang satu juga sudah major
Kendati demikian, Indra menambahkan Toyota tidak menutup diri untuk berdialog dengan pihak manapun termasuk pemerintah untuk memperoleh dukungan dalam pengembangan mobil hidrogen di Indonesia.
Warna Hidrogen
Deputy Education dari Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE), Hary Devianto mengatakan, bahan bakar hidrogen terbagi menjadi beberapa kategori yang dikelompokkan melalui warna-warna tertentu. Namun, untuk membuat publik mudah, dia hanya membaginya menjadi dua: low carbon dan high carbon.
Selain kode hitam dan abu-abu, hidrogen masuk kategori low carbon yang baik dipakai kendaraan bermotor. Hary menjelaskan, harga bahan bakar tersebut kini masih di atas US$ 5 atau Rp 84 ribu per kg. Bahkan, kata dia, ada yang sampai di atas US$ 10 atau 168 ribu per kg.
“Satu kilogram hidrogen untuk 100 km, itu kan udah terbukti. Nah, target berikutnya adalah US$ 1 (Rp 16 ribuan). Jadi, satu kilogram hidrogen (harganya) US$ 1. Itu pasti udah mengajar seluruh dunia. Sekarang masih di atas US$ 5, bahkan banyak di atas US$ 10,” ujar Hary dihadapan wartawan, termasuk ruangenergi.com.
Ketika ditanya kapan harga hidrogen bisa US$ 1 per kg, dia belum bisa memberikan kepastian. Namun, intinya, untuk mencapai angka tersebut, ekosistemnya harus lebih dulu terbentuk.
“Jadi strategi negara beda-beda. Karena targetnya adalah renewable energy, ya. Renewable energy tuh, kunci utamanya pertama intermitensi. Yang kedua, location specific. Nah, karena dua kunci itu, kita nggak bisa pukul rata. Jadi, memang harus ekosistem yang membentuk,” tuturnya.
Di kesempatan yang sama, Hary menjelaskan, hidrogen berkode warna abu-abu atau grey jauh lebih murah. Bahkan, tak sampai US$ 2 atau Rp 33 ribuan per kg. Namun, bahan bakar tersebut tak disarankan karena tak masuk kategori hidrogen low carbon.
Grey hydrogen merujuk pada hidrogen yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, seperti gas alam atau batubara, melalui proses kimiawi tanpa penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS).
“Itu masuknya hidrogen untuk industri, bukan hidrogen untuk energi. Kalau untuk energi itu udah ada komitmen dunia untuk menggunakan low-carbon hydrogen. Sebenarnya itu masih himbauan, tapi kalau Indonesia itu diwajibkan,” pungkasnya.