Mamit Setiawan

Transisi Energi Bersih Mutlak Diperlukan

Jakarta, Ruangenergi.comDirektur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengungkapkan, penggunaan energi fosil dalam pembangkit listrik masih mendominasi, ketimbang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Seperti halnya batubara, di mana pada 2020 penggunaan batubara dalam pembangkit listrik sebesar 38,0% dan minyak bumi sebesar 31,6%.

Meski demikian, dalam sebuah webinar bertajuk “Sosialisasi & Edukasi RUU EBT Sebagai Wujud Merealiasikan Transisi Energi di Indonesai”, yang dihelat Korbid IV Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), mengatakan, porsi energi fosil seiring waktu akan dikurangi. Hal tersebut sebagaimana yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Ini diharapkan target (EBT) di 2025 akan terus meningkat, dan di 2050 juga demikian. Ini bukan suatu hal yang mudah, saya kira kita semua sama-sama berusaha bagaimana target RUEN bisa terlaksana dengan baik,” ungkap mamit secara virtual, Selasa, 25 Mei 2021, malam.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2020, pemerintah mengungkapkan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 63,7 Gigawatt (GW), dengan konsumsi energi sebesar 0,8 TOE/kapita, dan konsumsi listrik sekitar 1.084 Kwh/kapita.

“Dari jumlah kapasitas pembangkit tersebut porsi batubara sebesar 38,0% dan 31,6% minyak bumi, 19,2% gas, serta 11,2% EBT,” katanya.

Sementara, dalam RUEN tahun 2025, pemerintah menargetkan pembangkit listrik terpasang sebesar 115 GW, dengan konsumsi energi sebesar 1,4 TOE/kapita, dan konsumsi listrik sekitar 2500 Kwh/kapita.

Dari jumlah tersebut, penggunaan pembangkit listrik yang bersuber dari batubara dan minyak bumi mengalami penurunan yang signfikan, dari 38,0% menjadi 30% untuk batubara, dan dari 31,6% menjadi 25% untuk minyak bumi.

“Kemudian, penggunaan EBT dan gas bumi ditargetkan meningkat sejalan dengan target pengembangan energi bersih dan Paris Agreement, dari 19,2% menjadi 22% untuk gas bumi, dan dari 11,2% menjadi 23% untuk EBT,” jelasnya.

Lalu, dalam RUEN tahun 2050, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 430 GW, dengan komsumsi energi sebesar 3,2 TOE/kapita, dan komsumsi listrik sekitar 7000 Kwh/kapita.

Adapun jumlah penggunaan pembangkit listrik yang bersumber dari energi fosil akan mengalami pengurangan dari 30% di 2025 menjadi 25% di 2050 untuk batubara, dan dari 25% di 2025 menjadi 20% di 2050 untuk minyak bumi.

“Pembangkit yang bersumber dari EBT meningkat dari 23% di 2025 menjadi 31% di 2050, dan dari 22% di 2025 menjadi 24% di 2050 untuk gas bumi,” imbuhnya.

Mamit Setiawan

Potensi EBT Melipah

Selain itu, Mamit mengungkapkan, potensi EBT yang dimiliki Indonesia sangat melimpah dengan 5 macam energi. Meski begitu, dirinya sangat menyayangkan lantaran dari total potensi yang ada lebih dari 400 GW, pemanfaatannya baru sekitar 2,5% atau sebesar 10 GW.

Adapun potensi EBT panasbumi sebesar 11 GW, cadangan sebesar 17,5 GW, sementara realisasi baru sekitar 1,9 GW (0,4%).

Surya (solar) potensi sebesar 207 GWp (Giga Watt peak), namun realisasi baru sekitar 0,1 GWp atau sekitar 0,02%.

Air, potensi yang terkandung sebesar 75 GW, namun pemanfatannya baru sekitar 5,8 GW atau baru sebesar 1,3%.

Angin memiliki potensi sebesar 60 GW, akan tetapi pemanfatannya baru sekitar 0,2 GW atau sekitar 0,03%.

Bioenergi memiliki potensi sebsar 32 GW, akan tetapi pemanfaatannya sekitar 1,9 GW atau sebesar 0,4%.

Mamit menyebutkan bahwa tantangan dalam pengembangan EBT cukup kompleks, dirinya mencatat setidaknya ada empat (4) aspek yang musti diselesaikan secara bersama agar target pengembangan EBT dapat tercapai.

Pertama, aspek teknis, didalamnya mencakup biaya untuk pengembangan EBT yang cukup mahal; listrik yang dihasilkan bersifat intermitten; berada di daerah remote atau konservasi; dan jaminan ketersediaan supply.

Kedua, aspek regulasi, menurutnya Undang-Undang (UU) EBT yang saat ini tengah dibahas Pemerintah bersama DPR tak kunjung selesai; kemudian Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang belum memberikan porsi besar; pembebasan lahan yang sulit; dan peraturan sektoral.

Ketiga, aspek sosial, ia mengatakan, dalam mengembangkan EBT perijinan antara pusat dan daerah sering kali bersebrangan; otonomi daerah; dan adanya gangguan keamanan dari masyarakat di sekitar dibangunnya pembangkit listrik EBT.

Empat, aspek ekonomi, mamit menilai bahwa harga jual yang rendah kepada PLN menjadi salah satu penyebab lambannya pengembangan EBT; insentif yang kurang, tax holiday dan tax allowance; perbankan nasional belum mendukung project finance; serta biaya riset yang sangat tinggi.

“Saya yakin dengan putera-puteri (milenial) Indonesia bisa melakukan penelitian-penelitian agar ke depan EBT ini menjadi lebih murah dan terjangkau. Jangan sampai potensi ini (EBT) dimanfaatkan oleh orang luar dan dari sisi teknologi kita tidak bisa mengoptimalkannya,” tandas Mamit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *