Jakarta, Ruangenergi.com – Sangat menarik diskusi tentang “Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Energi” yang diselenggarakan oleh Forest Digest dan Yayasan Indonesia Cerah secara virtual pada, 2 Juni 2021.
Tampil sebagai pembicara adalah: Berly Martawardaya (Direktur Riset INDEF), Meika Syahbana Rusli (Kepala Pusat Surfaktan IPB), Tri Mumpuni (Direktur Eksekutif IBEKA), Herbert Lubis (Senior Adviser Green Investment) dan Surya Darma (Ketua Umum METI).
Meika dari IPB mengatakan bahwa di tengah tren dunia terhadap energi bersih, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan malah mendorong industri ekstraktif, termasuk batubara.
Padahal, saat ini penggunaan energi bersih terbarukan menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim. Malah, regulasi di Indonesia belum mendukung sektor energi terbarukan secara optimal.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan justru mendorong industri ekstraktif, khususnya batubara, sementara dunia sedang berupaya mencapai emisi nol karbon pada 2050.
UU No 11/2020 Pasal 39, yang membahas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan, adanya tambahan pasal baru di UU No 4/2009, yakni Pasal 128 A, yang memberikan royalti nol persen untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara.
Meika Syahbana Rusli menambakan, UUCK belum menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan. Royalti nol persen dinilai justru akan menarik minat industri ekstraktif terhadap energi fosil, bukan energi terbarukan.
“Kontributor karbon emisi yang dapat mengalami perubahan iklim sebagian besarnya dihasilkan bahan bakar fosil, yakni sebesar 57 persen,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara Indonesia per 8 Maret 2021 sebesar 93,42 juta ton atau setara 16,99% dari target produksi sebesar 550 juta ton pada 2021. Yang lebih serius lagi adalah bahwa royalti nol persen berdampak pada potensi hilangnya pendapatan negara dan dana bagi hasil (DBH) ke daerah.
Padahal, royalti nol persen dimaksudkan mendorong eksploitasi batubara yang kkntradiktif dengan upaya meningkatkan pemanfaatan ET.
Dilain pihak, pemerintah sudah menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 23% pada bauran energi nasional pada 2025. Hal ini terlihat dari realisasi porsi ET hingga akhir 2020, yakni 11 %, masih jauh dari target, 23 persen sebagaimana diamanahkan diam RUEN.
Hingga kini, sekitar 90% energi di Indonesia masih didominasi batubara, minyak bumi, dan gas.
Sementara, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma mengatakan, dalam diskusi tersebut antara lain bahwa dunia akan meninggalkan energi fosil dalam beberapa dekade ke depan.
“Bahkan, setelah 2050, dunia diperkirakan akan banyak menggunakan energi terbarukan seperti matahari dan angin,” paparnya.
Melalui laporan Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector yang dirilis pada Mei 2021, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan, pada 2030, ada penambahan 1.020 gigawatt (GW) listrik dari energi angin dan matahari secara global. Adapun penjualan kendaraan listrik dunia juga diperkirakan mencapai 60%.
“UU Cipta kerja belum menyentuh aspek energi terbarukan. Pola pikir kita mesti diubah. Ke depan, energi terbarukan akan jadi energi prioritas, bukan energi alternatif,” imbuhnya.
Karena itu, METI mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi yang pro-energi terbarukan. Misalnya, menetapkan standar harga energi terbarukan, memfasilitasi adanya dana energi terbarukan, adanya payung hukum bagi sertifikat energi terbarukan dan segera menyelesaikan UU Energi Terbarukan, bukan UU Energi Baru Terbarukan yang mencakup nuklir.
Ini karena energi nuklir selain sudah diatur dalam UU ketenaganukliran, dan memerlukan pengaturan yang lebih kompleks mencakup teknis, safety dan juga pengelolaan limbah pasca operasi nuklir yang perlu diatur lebih detail.
“Apalagi diprediksi nuklir juga bakal ditinggalkan di masa depan. Karena itu, nuklir yang telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, perlu diamandemen untuk mengakomodasi kompleksitas kebutuhan energi nuklir dimasa mendatang. Tidak perlu ada dalam UU ET,” tutupnya.