Wacana RUPMG dan Implikasi Tata Kelola Migas Nasional: Perspektif Petinggi Sektor

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta Pusat, ruangenergi.com – Usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penyusunan dan pemberlakuan Rencana Umum Penyediaan Minyak dan Gas (RUPMG) sebagai kerangka hukum strategis dalam tata kelola sektor migas nasional menuai sorotan dari kalangan petinggi industri migas Indonesia.

Wacana ini memicu diskusi mendalam, khususnya mengenai entitas yang paling tepat untuk mengemban amanah pembahasan dokumen strategis tersebut.

Seorang petinggi migas yang memilih anonimitas mengungkapkan, esensi RUPMG sejatinya paralel dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di sektor ketenagalistrikan.

“Konsep RUPMG itu serupa RUPTL. Jika RUPTL ‘dimiliki’ oleh PLN sebagai badan usaha, maka logikanya pembahasan RUPMG seharusnya berada di ranah badan usaha migas, yaitu PT Pertamina (Persero),” jelasnya kepada ruangenergi.com, Senin (14/07/2025).

Pandangan ini mengindikasikan preferensi agar perencanaan strategis sektor migas tetap berada dalam lingkup operasional dan teknis badan usaha negara, yang dinilai memiliki kapabilitas serta pemahaman mendalam tentang dinamika industri.

Sebelumnya, Anggota Komisi XII DPR RI, Aqib Ardiansyah, dalam Kunjungan Kerja Spesifik di Surabaya (Jumat, 11/7/2025), secara tegas menyoroti urgensi RUPMG. Menurutnya, absennya dokumen perencanaan makro ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha migas, yang pada gilirannya dapat memicu berbagai permasalahan di masa mendatang.

“Di sektor ketenagalistrikan kita sudah punya RUPTL sebagai acuan jangka panjang. Tapi di sektor migas, kita belum punya RUPMG yang fungsinya sama: menjadi panduan besar untuk pengelolaan energi nasional,” tegas Aqib.

Polemik seputar pembahasan RUPMG ini menggarisbawahi kompleksitas tata kelola sektor migas nasional. Di satu sisi, terdapat kebutuhan akan kerangka hukum yang komprehensif untuk memastikan kepastian investasi dan keberlanjutan pasokan energi.

Di sisi lain, muncul pertanyaan mengenai efisiensi dan relevansi peran masing-masing pihak – legislatif, pemerintah, dan badan usaha – dalam merumuskan cetak biru strategis yang berdampak langsung pada keberlangsungan industri migas Indonesia.