YLKI: Sudah Saatnya BBM Tak Ramah Lingkungan Dihapus

Jakarta, Ruangenergi.com – Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai sudah saatnya Indonesia menghilangkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak ramah lingkungan dan tidak memenuhi standar Euro. Pasalnya, tingginya penggunaan BBM jenis tersebut menjadi pemicu utama polusi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Menurut Tulus, hal ini akibat masih dominannya penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai moda transportasi utama warga. Sekalipun saat ini peran angkutan umum masal sudah mulai dirasakan, tapi signifikansi pengguna kendaraan pribadi belum terbendung.

“Polusi Jakarta masih akan tetap buruk jika mayoritas kendaraan itu masih menggunakan jenis BBM yang rendah kualitasnya seperti premium, atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm. Padahal prasyarat BBM yang ramah lingkungan jika minimal RON-nya minimal 91, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm ” kata Tulus di Jakarta, Selasa (23/6/2020).

Menurut Tulus, tingginya polusi di Jakarta, bahkan di Indonesia ini juga menjadi tanggung jawab Pertamina sebagai perusahaan energi yang menjual dan menyediakan BBM di Indonesia, langsung atau tidak langsung.

“Sebagai tanggungjawab moral maka kita minta Pertamina untuk mengurangi tingkat polusi di kota-kota besar di Indonesia, dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan tersebut. Sangat mendesak bagi managemen Pertamina untuk meniadakan penjualan jenis BBM premium di Kota Jakarta dan Bodetabek, dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa, dan luar Pulau Jawa,” paparnya.

Ia mengungkapkan, peniadaan BBM premium sudah pernah dilakukan pada 2018, tapi ironisnya kebijakan itu dianulir menjelang mudik Lebaran 2018, sampai sekarang. Peniadaan BBM premium atau jenis BBM lain yang tidak ramah lingkungan, bukan saja urgen untuk mengurangi tingginya polusi di Jakarta, tetapi juga menjaga kesehatan warga Jakarta. “Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun harus melakukan kebijakan yang sama, yakni menghilangkan BBM bensin premium dari Kota Jakarta,” tukasnya.

Tulus mengungkapkan, bahwa bensin premium berkontribusi sangat signifikan terhadap polusi di Jakarta, karena lebih dari 30 persen bensin premium digunakan oleh kendaraan bermotor di Jakarta. Apalagi setelah marak adanya angkutan online, baik ojol (ojek online) maupun taksol (taksi online). “Kota Jakarta akan makin tenggelam dan kelam oleh polusi, dan jangan mimpi bisa mengikis polusi jika bahan bakar kualitas buruk seperti premium masih dominan bercokol di kota Jakarta,” kata Tulus.

Lebih jauh ia mengatakan, penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan seperti premium, pada konteks lingkungan hidup sejalan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia 2020, yakni “Waktunya Kembali ke Alam” (Time to nature). “Dan hal ini juga sangat sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Tulus mengaku pihaknya sangat pesimis pemerintah Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon antara 29-40 persen, jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan, dan sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan pembangkit listrik berbasis batu bara (coal).

“Relevan dengan fenomena New normal dalam kehidupan paska wabah Covid-19, maka di sektor energi/BBM, pun harus berbasis New normal juga; yakni konsisten menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan memenuhi standard Euro,” tukasnya.

Apalagi pada konteks gerakan konsumen, menggunakan BBM yang ramah lingkungan adalah sejalan dengan filosofi konsumsi berkelanjutan (sustainable consumtion). “Konsumen turut bertanggungajwab terhadap perilaku berkonsumsinya, untuk menjaga kerusakan alam/lingkungannya, dan generasi mendatang,” demikian Tulus Abadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *