Benny Lubiantara

Covid-19 Buat Harga Migas Merosot Tajam

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com –Benny Lubiantara, ex Analyst OPEC dan Deputi Kajian Ikatan Ahli Teknologi Perminyakan Indonesia (IATMI) , dalam sebuah diskusi online mengaku terkejut melihat harga minyak turun drastis.

“Saya ingat tanggal 24 April 2020, ketika itu harga minyak WTI Crude Oil negatif hingga $ -39 per barel. Fenomena ini tidak pernah terjadi sebelumnya,” jelasnya dalam diskusi online bertemakan Menuju Transformasi Energi Indonesia : Mampukah Kita?, (28/07) malam.

Dikatakan olehnya, turun naiknya harga minyak itu sudah biasa, seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 1980-an, dikarenakan over supply sehingga menyebabkan harga minyak turun.

“Kemudian pada tahun 1997 dan 2008 isunya demand karena ekonomi, sehingga harga minyak merosot. Tahun 2014 kita ingat isunya supply karena ada seal oil,” jelasnya.

Baca juga :Tren Industri Energi Dunia dan Penerapannya di Indonesia

“Biasanya selama ini permasalahannya satu yang menyebabkan turunnya harga minyak, kalau tidak kelebihan pasokan (supply) palingan berkurangnya permintaan (demand) . Nah, di tahun 2020 ini memang agak berbeda, karena yang terjadi dua-duanya, pasokan global masih over supply, lalu pada saat yang sama kondisi Covid-19 ini demand berkontraksi sangat signifikan,” sambungnya.

Menurutnya, kondisi ini sangat luar biasa bagi industri migas khususnya dan bagi industri lain. Dampak dari Covid-19 ini ketika global masih kelebihan pasokan, pada saat itu juga kemudian demand turun drastis.

Pukulan Untuk Investor.

Bicara dari sisi investor di sektor migas, mereka memiliki pengalaman penurunan harga minyak di tahun 2015-2016.

Ketika harga minyak turun, investor berlomba untuk melakukan akuisisi proyek-proyek. Akan tetapi pada saat itu, hal inilah yang dilakukan oleh investor.

“Pertama mereka akan melihat proyek-proyek yang sedang berjalan, mereka akan merevisit project. Kalau indicator keekenomoniannya dibawah minimum mereka akan melakukan penundaan terhadap proyek,” paparnya.

Begitupun juga dengan harga minyak yang turun dan asumsi yang sebelumnya, lanjut Benny, maka otomatis prioritas dari investor akan berubah.

“Dengan begitu contigency terhadap penurunan harga minyak secara ilmiah akan dilakukan agar bisa survive,” imbuhnya.

Selain itu, perlunya re-negoisasi dengan pemilik proyek, dan rencana ini cukup berhasil sehingga adanya penurunan harga.

Yang kurang mengenakan kondisi pandemic seperti ini, menurut Benny, adalah perusahaan mulai melakukan pengurangan-pengurangan terhadap staf atau karyawannya, dan tidak membuka lapangan pekerjaan baru hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan terjadi secara global. Aktivitas turun, investasi turun, ketika harga minyak turun seperti saat ini baik di Indonesia maupun global sama kasusnya,” bebernya.

“Kita masuk ke kasus apa yang dihadapi industri migas tanah air?,” lanjut Benny.

Ia mengatakan, yang investor lihat itu tiga hal, pertama geologi (iklim investasi) atau self surface. Kemudian insentif atau kebijakan fiscal yang diberikan kepada investor, dan terakhir yakni dukungan untuk investor dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah.

“Belakangan mereka juga melihat access to market-nya, jadi jika infrastruktur tidak tersedia hal itu, maka akan mempengaruhi nilai keekonomian dari proyek tersebut,” katanya.

Akan tetapi, lanjut Benny, kalau access to market-nya ada, ketersediaan infrastrukturnya ada, ini menjadi daya tarik bagi investor untuk melakukan penanaman modalnya.

Jika dilihat, sebelum adanya Covid-19, persaingan dalam industri migas cukup ketat dan untuk menarik perhatian investor semakin ketat, sebab, negara-negara lain berlomba untuk menarik investor.

“Kemudain, ketergantungan terhadap impor semakin tinggi, dan Undang-Undang Migas sudah sama-sama kita tahu belum ada pembahasan antara pemerintah dan DPR hampir 10 tahun terakhir,” tuturnya.

Skema Cost Recovery dan Transformasi Energi.

Kadang-kadang kita kurang produktif mengenai skema cost recovery sehingga terjadi Miss understanding mengenai skema tersebut.

Kemudian juga, untuk multiflier effect, saat ini masih terdapat ke gamblangan.

Terkait, energy transmission, perusahaan migas mulai bertransformasi mengenai adanya tantangan-tantangan isu karbon emisi gas buang, dan langsung bertransformasi ke bisnis low carbon.

Dengan masuknya perusahaan-perusahaan migas di eropa ke bisnis low carbon , seperti BP, Shell, Eni, Repsol, Total dan lainnya, itu otomatis dampaknya ke industri hulu migas yang menyebabkan semakin terbatasnya alokasi capital. Karena tentunya sebagian besar perusahaan akan mengalokasikan investasinya ke low carbon.

Sementara, terkait dengan Key Performance Indicator (KPI), terkadang kita terlalu sibuk untuk menghabiskan waktu berdebat mengenai KPI dalam jangka pendek, (seperti target produksi tahun ini berapa, dan lainnya).

“Habis waktu berdebat mengenai KPI produksi yang ujung-ujungnya mungin tidak tercapai, akan tetapi kita berfikirnya tahunan. Jadi tidak ada berfikir yang lebih panjang dari setahun,” tuturnya.

Horizon berfikir itu setahun bagaimana mencapai produksi tahun ini dan ini problemnya KPI, karena Institusi, Kementerian atau Lembaga memiliki KPI masing-masing yang belum tentu sejalan.

Pasalnya, para lembaga tersebut fokus ke KPI masing-masing, sehingga target produksinya secara nasional menjadi terhambat.

Selain itu, Indonesia juga memerlukan akuisisi dalam jangka pendek. Kita perlu akuisisi blok-blok migas yang ada di luar Indinesia, hal tersebut untuk mengamankan pasokan domestik.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Negara China, India, Jepang dan lainnya. Mereka melakukan akuisisi di luar negaranya untuk menjaga pasokan domestiknya.

Padahal blok-blok migas di negaranya banyak, akan tetapi kebutuhannya sangat besar. Sehingga mereka mengambil langkah untuk mengakuisisi blok-blok migas di luar negaranya.

Selain itu, cara berfikir harus dirubah, karena Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak. Berbeda pada tahun 1980-an, ketika itu, Indonesia menjadi negara dengan pendapatan yang cukup besar dari migas,” katanya.

Lebih lanjut, Benny mengatakan, yang terakhir yakni biarkan investor yang akan memilih. Mengapa demikian, karena yang dibaca di grup-grup whatsapp banyak investor kabur dari indonesia.

“Investor ibarat pelanggan restoran lah, dia kalau kecewa langsung pergi, tidak harus menjelaskan ke pemilik restoran mengapa sebab mereka pergi,” ungkapnya.

Sebenarnya yang dibutuhkan oleh investor itu adalah regulasi atau peraturan yang mendukung. Sebab jika tidak, investor akan merasa tak aman dan memutuskan untuk meninggalkannya. (Galuh)