Jakarta, ruangenergi.com- Ada yang menarik disampaikan oleh Stephen Salomo, Analyst E&P Research Rystad Energy yang menyatakan perkembangan pengembangan deep water development cost turun secara global, termasuk di Indonesia.
Menurunnya development cost dunia ini tentu saja dirasakan dengan berkembangnya proyek deepwater di Indonesia, seperti Northern Hub dan Southern Hub IDD yang dikembangkan oleh ENI Indonesia.
“Apa yang membuat IDD Project yang sangat visible sampai sekarang. One is different operatorship.Kedua facility. Ketiga support dari SKK Migas. Sebelum ENI mengambil alih dari Chevron, apakah ENI sudah mengerti portfolio Kutei Basin? Hundred percent ada di Jangkrik FPU dan Merakes.Kemudian setelah itu ENI take deepwater project. This way time to FID dari Southern Hub , kalau kita lihat planningnya tight back dengan FPU nya. Kalau bisa menunjukkan potensi dan progres lebih lanjut,” kata Stephen menjawab pertanyaan ruangenergi.com di acara media briefing bertema “Mewujudkan Ketahanan Energi Untuk Capai Cita-cita Indonesia Emas”, Selasa (17/12/2024), di Jakarta.
Stephen melanjutkan, apakah strategi ini mirip dengan negara-negara lain ketika omong tentang deepwater project? Dari sisi investor adalah melihat apa yang sudah dilakukan investor lain sejenis dalam pengembangan deepwater.
“Semua operator dunia, international companies mereka push tentang deepwater project. Mereka harus make sure project harus go online. Kondisinya lagi ideal, they have cost advantage dan resourcesnya besar,” ungkap Stephen.
Sebelumnya Stephen bercerita, tentang penurunan cost dari pengembangan deepwater di dunia.
“Kalau kita lihat dari sisi global, pertama teknologinya sudah berkembang, dulu development cost untuk deep water mungkin secara global itu bisa sampai US$14 per barel oil equivalent (BOE). Sekarang dengan teknologi di Guyana, Suriname, bahkan di Indonesia, kita bisa mencapai rata-rata disekitar US$8 per BOE. Soalnya dalam waktu kurang lebih dari 10 tahun, perbedaannya jadi signifikan,” jelas Stephen.