Jakarta, ruangenergi.com – Sejumlah kalangan mempertanyakan nasib revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang hingga kini tak kunjung tuntas. Satu diantaranya adalah Energy Institute for Transitions (EITS).
Revisi UU Migas dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi penguatan kelembagaan dan daya tarik investasi hulu migas untuk mendongkrak lifting minyak dalam negeri, sehingga target sebesar 1 juta barel per hari pada 2030 tercapai.
Untuk itu, EITS mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia segera menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang diwariskan menteri sebelumnya terutama revisi UU Migas.
Ketua dan Founder EITS Godang Sitompul mengungkapkan, sejak zaman Menteri ESDM Jero Wacik hingga Arifin Tasrif, revisi UU Migas tak kunjung dilakukan.
“Sejatinya, keinginan revisi UU Migas di Indonesia sudah muncul sejak UU Nomor 22 Tahun 2001 itu sendiri disahkan,” ungkapnya, di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Keinginan itu, sambung Godang, kian menguat pada awal tahun 2010-an terutama setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang membatalkan beberapa pasal penting dalam UU tersebut.
“Namun, pinjam istilah Pak Bahlil, ‘Sampai Ayam Tumbuh Gigi’ tidak nampak jua tanda-tanda revisi UU Migas menjadi sebuah produk undang-undang baru,” imbuhnya.
Berdasarkan catatan EITS, proses revisi UU Migas telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI, namun pembahasannya berjalan lambat karena berbagai perbedaan pandangan antara pemerintah, DPR, dan pelaku industri.
Hingga saat ini, revisi UU Migas masih menjadi agenda prioritas yang terus didorong oleh berbagai pihak untuk memberikan kepastian hukum dan mendukung pengembangan sektor migas di Indonesia.
EITS juga mencatat beberapa poin utama yang biasa muncul dalam pembahasan revisi UU Migas, antara lain kelembagaan dan pengawasan; pembagian hasil; investasi dan kontrak; perlindungan lingkungan; kedaulatan energi; plus penanganan konflik hukum; dan kepastian usaha.
“Revisi UU Migas menjadi bagian penting dalam mendorong modernisasi sektor energi di Indonesia terutama dalam menarik investasi lebih besar, memperkuat tata kelola, dan menjamin pasokan energi berkelanjutan bagi ekonomi nasional,” tegas Godang.
Gas bumi memainkan peran penting dalam transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan rendah karbon. Dalam proses peralihan dari bahan bakar fosil menuju penggunaan energi terbarukan, gas bumi sering dipandang sebagai “bahan bakar jembatan”.
“Karena itu, kami menanti aksi seluruh stakeholders ESDM dalam mengakselerasi revisi UU Migas sehingga target peningkatan lifting migas dapat segera tercapai,” tegas Godang.