Begini Cerita tentang Idle Well: Menghidupkan Kembali Sumur yang “Mati Suri”

Jakarta, ruangenergi.comIdle well tiba-tiba naik panggung di industri hulu migas Indonesia, saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) kembali menggaungkan pentingnya pemanfaatan sumur-sumur tidak aktif ini.

Kementerian ESDM memang mendorong pemanfaatan idle wells secara masif untuk meningkatkan produksi migas nasional. Sumur-sumur ini masih memiliki potensi, namun belum dimanfaatkan karena berbagai alasan, seperti kondisi teknis atau keekonomian. Dengan program reaktivasi, diharapkan sumur-sumur tersebut dapat kembali berproduksi secara optimal.

Langkah ini sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari pada tahun 2030. Reaktivasi idle wells dapat menjadi solusi yang lebih efisien dari segi biaya dibandingkan eksplorasi dan pengembangan sumur baru.

“Jadi, idle wells itu sumur eksisting yang tidak perlu dibor lagi. Sumur yang ‘mati suri’ dan tidak diproduksikan oleh K3S, lalu dicoba diaktifkan kembali (reaktivasi). Caranya bisa dengan teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery) seperti chemical dan lainnya,” ujar salah satu petinggi migas yang enggan disebutkan namanya kepada ruangenergi.com, Kamis (31/10/2024), di Jakarta.

Ditanya soal biaya pengeboran idle well, dia menjelaskan bahwa hal ini tergantung pada kondisi bawah permukaan (subsurface) dan lapangannya. Misalnya, di Zona 4 Pertamina dengan reservoir Alas Benakat Formation yang dangkal akan berbeda dengan formasi Talang Akar yang lebih dalam dan membutuhkan biaya lebih tinggi.

“Reaktivasi idle well memerlukan teknologi yang sesuai dengan karakteristik lapangan minyak yang ada,” tambahnya.

Ketika ditanya seberapa besar produksi yang diharapkan dari idle wells, ia menyebutkan bahwa diperlukan perhitungan matang karena jumlahnya mencapai ribuan sumur.

“Prinsip dasar perminyakan, sumur yang dulu pernah produksi kemudian mati masih menyisakan minyak di bawah tanah. Hanya 30 persen minyak yang terlifting, artinya masih ada sekitar 70 persen yang tertinggal di bawah, mungkin sekitar 50-70 persen yang tidak terlifting karena berbagai hal, misalnya tekanan yang sudah turun. Kita reaktivasi lagi,” ungkapnya.

Dia menambahkan, teknologi yang tepat dan biaya yang efisien sangat diperlukan.

Ketika ditanya tentang success rate atau tingkat keberhasilan reaktivasi idle wells, dia menyebutkan bahwa volume produksi dari satu sumur berkisar antara 10 hingga 30 barel per hari, dengan tingkat kesuksesan sekitar 50 persen dari total sumur yang diaktifkan.

Kendala Non-Teknis Idle Wells

Ia juga menjelaskan beberapa kendala non-teknis dalam pengelolaan idle wells. Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi keberhasilan reaktivasi ini di wilayah eksisting K3S, baik Pertamina maupun perusahaan lain.

“Kendala pertama adalah kesediaan (willingness) dan upaya dari K3S untuk mereaktivasi idle wells. Kedua, diperlukan teknologi tinggi dengan biaya yang murah, karena hasil produksinya kecil. Kalau biayanya tinggi, tentu tidak ekonomis. Ketiga, ada masalah legalitas terkait kemungkinan pengerjaan oleh pihak ketiga, sehingga kontrak harus menguntungkan kedua belah pihak,” jelasnya.

Ia menyebutkan bahwa selama ini, kontrak yang ditawarkan sering menggunakan skema no cure no pay, di mana K3S seolah-olah tidak ingin menanggung risiko dan menyerahkannya pada pihak ketiga.

“Perlu ada formula yang lebih menarik daripada no cure no pay, misalnya risk-sharing. Ketika pihak ketiga terlibat, mereka perlu berkontrak dengan pemilik sumur, yaitu K3S. Diperlukan formula menarik agar pihak ketiga mau masuk. Sebagai pebisnis, mereka tentu mencari yang menguntungkan. Mereka sudah menginvestasikan material dan peralatan di idle wells, jadi minimal ada kompensasi pembayaran. Selain no cure no pay, ada juga skema berbasis kinerja (performance-based), yang sudah dilakukan, tetapi banyak yang kurang tertarik dengan idle wells, padahal potensinya ada ribuan,” ungkapnya.

Untuk mempercepat reaktivasi idle wells, ia menyarankan peningkatan bagi hasil bagi pihak ketiga yang mengelola sumur-sumur tersebut.

“Saat ini, pihak ketiga yang mengelola idle wells hanya mendapatkan fee saja. Misalnya, kalau sumur berhasil, biaya produksi mereka dihitung dan mereka mendapat 10-15 persen dari hasil tersebut, sangat kecil. Ke depan, bagi hasil sebaiknya lebih menarik. Daripada sumur tidak menghasilkan, lebih baik diberdayakan dengan skema bagi hasil yang lebih besar. Setelah sukses, bisa diberikan kontrak satu atau dua tahun. Jika kontrak bagus, bagi hasil K3S bisa diturunkan sedikit demi sedikit,” jelasnya.

Ketika ditanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melihat hasil dari reaktivasi idle wells, ia menyebutkan bahwa hasilnya bisa diketahui dalam 1 hingga 2 bulan setelah reaktivasi, dengan menghitung flow rate.

“Kita bisa lihat hasilnya dalam 1-2 bulan setelah reaktivasi,” tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *