Jakarta,ruangenergi.com-Sejak negara Republik Indonesia dideklarasikan, pemerintah berpendapat bahwa migas adalah sektor strategis yang mendapat perhatian besar dari pemerintah. Beragam upaya dilakukan mulai dari memperbaiki regulasi dalam pengelolaan migas, pembentukan lembaga pengelola migas, hingga mengkonstruksikan bentuk kontrak kerja sama pengelolaan migas agar menguntungkan negara tanpa mengabaikan hak kontraktor.
Tindakan pemerintah dalam melakukan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), dan pengawasan (toezichthoundeddaad) merupakan wujud act utilitarian yang dilakukan oleh
pemerintah.
Pembentukan aturan tentang modifikasi kontrak bagi hasil menjadi rule utilitarian karena berhasil menstimulus kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk dapat meningkatkan produktivitasnya. Namun demikian keresahan muncul ketika besaran cost recovery tidak berbanding lurus dengan penerimaan negara seperti pada tabel di bawah ini:
Utak atik instrument fiskal terhadap industri migas tidak kemudian menjadikan penerimaan semakin membaik. Sejumlah faktor terutama berkaitan dengan kondisi wilayah kerja yang semakin tua menjadi tantangan bagi industri migas nasional untuk dapat meningkatkan kontribusinya bagi penerimaan negara.
Selain itu perubahan aturan mengenai perubahan skema kontrak bagi hasil juga menjadi tantangan disamping belum jelasnya status lembaga pengelola migas nasional. Variabel inilah yang kemudian menjadikan new institution economics belum dapat direalisasikan sehingga perlahan welfare (kesejahteraan) dari sektor migas sulit tercapai. Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka bukan tidak mungkin terjadi stagnansi bahkan degradasi pada industri hulu migas nasional.
Demikian dikatakan oleh Presenter Brigita Purnawati Manohara dalam disertasinya dan berhasil meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu (2/7). Selain disertasi Brigita berjudul Pengelolaan Hulu Migas di Indonesia: Kajian Regulasi dan Institusi Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 diberi nilai sangat memuaskan, perempuan asal Surabaya itu juga mendapat dua penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
Rekor pertama yang dipecahkan Manohara adalah Perempuan Presenter dengan Gelar Akademik Terbanyak. Setelah meraih doktor, gelar lengkap yang dimilikinya menjadi Dr. Brigita Purnawati Manohara, S.T, S.H, M. Ikom, M.H. Sedangkan rekor kedua, Sebagai Perempuan Presenter Televisi Swasta Pertama Bergelar Doktor Hukum.
Penghargaan itu diberikan tepat setelah sidang disertasi terbukanya di Balai Sidang Djoko Soetono UI selesai pada pukul 15.00. Gelar yang dimiliki perempuan kelahiran 2 November 1985 berpotensi bertambah. Sebab, saat ini Manohara sedang menyelesaikan studi magister manajemen di Universitas Paramadina.
Dalam disertasinya, Brigita menuliskan bahwa pemerintah sebagai perwakilan negara dalam penguasaan sumber daya migas terus berupaya agar pemanfaatannya dapat sesuai dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang
merupakan landasan ekonomi bangsa Indonesia. Oleh karenanya optimalisasi potensi sumber daya migas semestinya diupayakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Namun demikian upaya maksimalisasi potensi migas menghadapi sejumlah tantangan. Merujuk pada hasil penelitian Fraser Institute sejak 2009 hingga 2018 terhadap policy perception index (PPI) diketahui bahwa terdapat sejumlah variabel yang mempengaruhi industri migas di Indonesia diantaranya adalah ketidakpastian regulasi, instrumen perpajakan, aturan mengenai batasan usia tenaga kerja, kesulitan berbisnis akibat berbelitnya birokrasi, korupsi dan minimnya akses data terhadap cadangan migas
di tanah air.
Apabila dikelompokkan, maka tantangan yang dihadapi industri migas meliputi: 1) tantangan teknis pengelolaan; 2) tantangan regulasi dan implementasinya; dan 3) ketidakpastian skema kerja sama pengelolaan dan lembaga pengelola hulu migas nasional.
Tantangan teknis yang dihadapi oleh industri hulu migas nasional adalah tentang ketersediaan data mengenai potensi cadangan terbukti dan kondisi sumur minyak yang semakin tua sehingga terjadi penurunan tingkat produksi. Guna mengatasi tantangan ketersediaan data, pemerintah telah melakukan integrasi data dari seluruh stakeholders hulu migas. Selain itu, survei potensi migas juga telah dilakukan bekerja sama dengan TNI agar data yang dibutuhkan dapat segera disajikan.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan SATU PETA yang merupakan upaya untuk meminimalkan
tumpang tindih lahan sehingga permasalahan lahan dapat diminimalkan. Selanjutnya apabila seluruh data potensi cadangan dan kebijakan SATU PETA dapat direalisasikan maka dapat dimanfaatkan untuk percepatan ekplorasi oleh KKKS.
Tidak hanya itu, pemerintah juga terus mengembangkan teknologi eksploitasi migas dengan memanfaatkan Enhanced oil Recovery (EOR). Teknologi ini diklaim dapat mendorong peningkatan produksi migas di sumur ‘tua’.
Tingginya biaya pemanfaatan teknologi ini menjadi tantangan ikutan yang perlu segera dituntaskan agar tingkat produksi dapat kembali ditingkatkan. Selain tantangan teknis, industri hulu migas juga mengalami tantangan regulasi dan implementasinya.
Upaya pemerintah membuat kebijakan (beleid), menjalankan fungsi pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad), pengawasan (toezichthoundendaad), dan pengelolaan (behersdaad) untuk pemenuhan kebutuhan data potensi cadangan dan teknologi guna peningkatan produksi merupakan act utilitarian. Apabila regulasi yang dibuat dapat terimplementasi dan kemudian termanfaatkan dengan baik dalam rangka
peningkatan produksi migas nasional maka merupakan rule utilitarian. Meski regulasi guna menjawab tantangan teknis yang merupakan bagian dari new institutional economics (NIE) sudah dibuat dengan baik tetapi apabila belum terimplementasi maka NIE belum terwujud sehingga welfare state yang dicita-citakan.
Jaminan Kepastian Hukum pada Regulasi Sektor Hulu Migas
Pemerintah dalam rangka mencukupkan kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan pendapatan dari industri migas nasional terus berupaya menjawab tantangan di industri ini. Karakteristik industri hulu migas adalah high risk, high technology, dan high cost menjadikan industri ini membutuhkan kepastian regulasi agar
investasi dapat ditingkatkan.
Namun demikian, regulasi di industri migas yang diharapkan dapat memberikan kepastian untuk berinvestasi belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak hanya karena perubahan kebijakan yang membuat investor gamang, tetapi juga berlebihnya aturan baik di tingkat pusat dan daerah sehingga
menjadikan birokrasi ‘berbelit’.
Kondisi ini tentu tidak sesuai dengan NIE yang semestinya apabila direalisasi dapat menekan transaction cost akibat buruknya institutional. Oleh karenanya pemerintah melakukan act utilitarian dengan berinisiatif
untuk melakukan omnibus law sebagai upaya agar permasalahan ‘berbelit’nya regulasi dapat dituntaskan. Namun demikian kendala Kembali muncul ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta KErja cacat secara formil dan mesti diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Hal ini menyebabkan ketidakpastian Kembali di sektor hulu migas
mengingat UU Migas yang digugat di MK pada tahun 2012 silam belum ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-undang migas baru.
Landasan hukum dalam bentuk undang-undang menjadi penting bagi kegiatan hulu migas demi kondusivitas industri ini. Undang-undang migas baru dapat dijadikan acuan bentuk kontrak kerja sama yang dapat memberikan kesejahteraan bagi sebesar-besar rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satu ketidakpastian yang menjadi catatan investor adalah mengenai bentuk kontrak kerja sama migas. Modifikasi bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada industri migas merupakan act utilitarian
pemerintah dalam menjalankan fungsi beleid, regelendaad, bestuurdaad, dan toezichthoundendaad. Namun demikian modifikasi terhadap kontrak bagi hasil yang diterapkan perlu dilakukan evaluasi secara agar dapat diukur dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap pembangunan agar tidak menyebabkan terjadinya oil curse.
Ketidakpastian juga dirasakan oleh pemerintah daerah (pemda) tempat dimana wilayah kerja migas berada. Kebijakan Dana bagi hasil yang merupakan act utilitarian dan rule utilitarian. Namun karena ada ketidakpastian penerimaannya maka kebijakan ini sebagai rule utilitarian perlu dikaji lebih lanjut. Dana bagi hasil yang sekiranya diterima pemda sesuai dengan ketentuan ternyata banyak dikeluhkan pemda. Bukan
hanya karena nominalnya yang dinilai kecil tetapi beberapa daerah bahkan terlambat atau tidak menerimanya.
Fenomena ini tentu tidak sesuai dengan tujuan pemanfaatan sumber daya yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip new institutional economics karena regulasi yang semestinya menjadi acuan ternyata belum terimplementasi dengan baik.
Pengelolaan migas nasional sesuai dengan UU No. 22 tahun 2001 dilakukan dengan asas keadilan, keseimbangan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak. Fenomena lain yang memprihatinkan adalah ketika daerah penghasil migas justru merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Beberapa faktor penyebab terjadinya disparitas antara kekayaan alam daerah dengan tingkat kemiskinan
adalah karena tidak terealisasinya tingkat kesetaraan pada dana bagi hasil, dan pengelolaan APBD yang kurang tepat guna serta manfaat. Selain melalui dana bagi hasil, kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah penghasil migas juga diupayakan melalui participating interest (PI). Bentuk act utilitarian yang diikuti dengan aturan baru mengenai PI semestinya dapat menjadikan ketentuan PI sebagai rule utilitarian. Namun butuh kerja sama dari KKKS untuk bisa berkoordinasi lebih lanjut mengingat keterlibatan daerah melalui BUMD mesti diimbangi dengan kapasitas BUMD di sektor hulu migas. Merujuk pada new institutional economics (NIE) apabila tidak ada petunjuk teknis dan pelaksanaan
tentang ketentuan PI maka bukan tidak mungkin tujuan peningkatan pendapatan daerah dari industri hulu migas sulit tercapai sehingga jauh dari cita-cita merealisasikan welfare state dari sektor hulu migas.
Harapan pemerintah untuk dapat menggeliatkan industri hulu migas tidak hanya semata-mata dalam rangka memperbaiki neraca migas dan neraca perdagangan tetapi lebih kepada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi dari multiplier effect bisnis hulu migas. Hal inilah yang mendorong pemerintah mengesahkan kebijakan tentang pemanfaatan produk hasil produksi dalam negeri
(Tingkat Komponen Dalam Negeri, TKDN).
Pengesahan kebijakan yang merupakan act utilitarian pemerintah ini semestinya dapat menjadi rule utilitarian apabila dilakukan sesuai dengan konsep dan ketentuan dari pelaksanaan TKDN. Berdasarkan
prinsip utama NIE yakni kejelasan aturan yang dapat diimplementasi dan peran dari
lembaga sebagai pemain dalam penerapan NIE guna mewujudkan welfare state.
Namun demikian lembaga pengelola migas nasional hingga saat ini masih tidak pasti mengingat
status SKK Migas yang semestinya merupakan lembaga sementara pasca pembubaran BP Migas berdasarkan Putusan MK tetapi selama 9(Sembilan) tahun masih belum ditetapkan masa depannya. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian lain di industri hulu migas yang dimungkinkan mengganggu kondusivitas di industri ini.
Seperti yang telah disampaikan bahwa ketidakpastian industri hulu migas bukan hanya pada regulasi yang melandasi kegiatan di industri ini tetapi juga lembaga pengelolanya. Indonesia sebelum lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 menganut skema ‘dua kaki’ dimana pemerintah menyerahkan fungsi regulasi dan komersialisasi kepada Pertamina sebagai perusahaan migas nasional (NOC). Namun kondisi ini berubah pasca
krisis 1998 yang kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 2001 dan selanjutnya lembaga baru yakni BP Migas dan BPH migas. Keberadaaan BP Migas menandai perubahan hubungan antara ketiga fungsi lembaga pengelola hulu migas, yakni kebijakan (policy), regulasi (regulatory), dan komersialisasi (NOC). Hubungan yang awalnya ‘dua kaki’ menjadi ‘tiga kaki’ atau lebih dikenal sebagai the Norwegian model.
Perubahan yang dilakukan merupakan amanat Undang-undang dengan harapan dapat meningkatkan governance di industri hulu migas nasional sehingga berdampak pada peningkatan produktivitasnya. Dengan demikian maka dalam pengelolaan hulu migas nasional terdapat tiga institusi yang aktif yakni Kementrian ESDM, BP Migas (sekarang SKK Migas) dan PT. Pertamina.
Selain itu terdapat pula kontraktor migas
swasta yang juga turut mengelola hulu migas nasional serta Dewan Energi Nasional (DEN). Pasca dibubarkannya BP Migas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 dan selanjutnya digantikan SKK Migas menimbulkan ketidakpastian hingga kini karena SKK Migas merupakan lembaga sementara.
Dibentuknya SKK Migas untuk melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan dari BP Migas yang dibubarkan merupakan wujud act utilitarian dari pemerintah. Respon pemerintah untuk segera membentuk lembaga sementara merupakan tindakan tepat untuk menjaga stabilititas industri migas dan menjaga agar NIE tetap terjaga. Namun demikian keberadaan lembaga sementara yang ternyata dipertahankan hingga lebih dari 9 (Sembilan) tahun menjadi kontradiktif karena justru menimbulkan ketidakpastian bagi industri hulu migas nasional. Perdebatan mengenai skema ‘dua kaki’ dan ‘tiga kaki’ termasuk lembaga apa yang di kemudian hari menggantikan SKK Migas masih belum tuntas dibahas.
Padahal Mahkamah Konstitusi secara gamblang menyatakan bahwa bentuk lembaga pengelola hulu migas yang paling tepat adalan Badan Usaha. Apabila merujuk pada NIE maka aturan main (regulasi) dan peran
pemain (lembaga pengelola) perlu disepakati terlebih dahulu agar ada kepastian serta
stabilitas regulasi sehingga bisnis dapat berjalan lancar.
Brigitha Manohara menyampaikan kesimpulan dari hasil pembahasan disertasi, dan dia memberikan sejumlah saran sebagai berikut:
1. Berkaca dari perkembangan pengelolaan migas di sejumlah negara penghasil migas maka negara sebagai pemegang hak penguasaan sumber daya tidak perlu ragu menunjukkan keberpihakanya terhadap NOC melalui produk regulasi yang disahkan. Namun demikian perlu dilakukan perbaikan infrastruktur perpajakan
khususnya di sektor hulu migas agar industri ini lebih atraktif. Selain itu implementasi dari produk regulasi perlu memperhatikan NIE dan good governance agar tercipta pertumbuhan ekonomi dengan sektor hulu migas sebagai motor penggeraknya sehingga welfare state dapat direalisasikan.
2. Mengacu pada perkembangan regulasi dan institusi pada pengelolaan hulu migas nasional berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945, maka perlu segera dilakukan penataan regulasi yang salah satu upayanya dengan segera memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker dan/atau menyelesaikan pembahasan tentang RUU Migas. Undang-undang Migas baru inilah yang kemudian dapat dijadikan landasan berkegiatan di industri hulu migas sehingga tercipta stability dan sustainability pada industri ini dengan tetap memperhatikan good governance.
3. Dalam rangka optimalisasi regulasi dan institusi maka peneliti menyarankan agar kembali pada skema ‘dua kaki’ dengan kewenangan lebih besar diberikan kepada Badan Khusus Migas yang merupakan badan usaha baru dibawah koordinasi langsung Presiden dan pengawasan oleh DEN. Selain itu sebagai masukan dalam
upaya untuk memudahkan koordinasi maka peneliti menyarankan agar Menteri BUMN menjadi bagian dari DEN