Transisi energi

Eks Anggota DEN Beberkan Hiruk Pikuk Transisi Energi yang tengah dilakukan Indonesia

Jakarta, Ruangenergi.com – Oil and gas exploration and development faces an uncertain future that is not driven by supply and demand but rather public perception and acceptance; this is an industry-wide challenge that we are best-equipped to navigate together”. (Eksplorasi dan pengembangan minyak dan gas menghadapi masa depan yang tidak pasti yang tidak didorong oleh penawaran dan permintaan melainkan persepsi dan penerimaan publik; ini adalah tantangan di seluruh industri yang paling siap kita hadapi bersama).

Di atas itu adalah cuplikan pesan President American Association of Petroleum Geologists (AAPG), Rick Fritz pada email ke anggota AAPG sebagai pengantar rencana Penggabungan (Merger) AAPG dan SPE, Selasa 25 Mei 2021.

“Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, (you are not alone) . Saya juga kok. Tapi dari cuplikan di atas itu paling tidak kita tahu bahwa ada yang sedang bergerak mengantisipasi ketidakpastian itu. Asosiasi profesional migas dunia seperti AAPG Itu kelihatannya sudah mahfum dan siap bertindak untuk memitigasi dampak buruknya bagi profesi petroleum geologist, salah satunya dengan cara merger dengan asosiasi para insinyur perminyakan dunia yaitu SPE alias Society of Petroleum Engineer,” ungkap Andang Bahtiar, eks Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), dalam sebuah pernyataannya yang diterima Ruangenergi.com, (18/07).

Dalam pernyataannya tersebut, ia yang sedang berada Paris, Tengah malam musim panas, Pergantian hari, 17-18 Juli 2021,

“Terus, bagaimana kita-kita di Indonesia mengantisipasinya? Bagaimana ISPG/IAGI? Bagaimana IATMI, HAGI dan IPA? Bagaimana SKK Migas, Ditjen Migas, ESDM? Kok kelihatannya sampai sekarang tenang-tenang saja? Wacana tentang akan berakhirnya era migas itu sesekali muncul di komunikasi media sosial, tetapi jarang ada yang mau membahasnya berkepanjangan,” jelasnya.

Ia mengatakan, isu itu sering tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi technicalities saling berbagi pengalaman dan semangat untuk terus bergerak di gemerlap semu dunia migas Indonesia (dan dunia?).

Kebijakan Energi Yang Obsolete

Ia mengungkapkan, suasana gemerlap semu itu diakibatkan oleh implementasi kebijakan energi Indonesia yang unik sekaligus obsolete.

Menurutnya hal itu unik karena cara implementasinya seperti (Sisipius Mendorong Bongkah Batu ke Atas Bukit). Obsolete karena asumsi dasar kebijakan itu adalah situasi dan aspirasi Indonesia dan dunia tahun 2009 – yang bahkan sebelum pandemi inipun sudah jauh berbeda dengan kondisi nyata, apalagi setelah 1,5 tahun pandemi ini.

“KEN (Kebijakan Energi Nasional) kita masih melenakan para energi-fossilis karena rencana resmi negara dan kenyataannya dari sisi supply – demand: kita masih akan terus (ngeyel) memakai minyakbumi di bauran energi, yakni: 25% di 2025 dan 20% di 2050,” imbuh Eks Anggota DEN Periode 2014 tersebut.

Selain itu, lanjutnya, masih berkobar-kobar juga tekad dan usaha untuk memproduksi 1Juta Barel Oil Per Day (BOPD) di 2030.

“Walau dengan itupun kita masih akan tekor 1,2Jt BOPD dari sisi supply (total demand 2,2Jt di 2030), sehingga masih harus terus mengandalkan impor,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, aspirasi hijau dari berbagai kalangan NGO terus menggedor, tapi pemerintah Indonesia dan sebagian besar pebisnis nasional plus makelar-makelar politik bisnis (pencari rente), nampaknya masih ingin terus menikmati gurihnya duit minyak bumi.

“Bahkan (apalagi) ketika kita harus net-impor minyak bumi itu sejak 2004 yang lalu, maka makin banyaklah peluang bisnis dan pencarian rentenya,”terangnya.

Di panggung dunia, kata Andang, IEA (International Energy Agency) merekomendasikan untuk menghentikan eksplorasi minyak bumi dan batubara mulai 2025 untuk bisa mencapai target Zero Emission di 2050. Ia menjelaskan, di dalam negeri fenomena hengkangnya para Majors (Oil Compamy) dari Indonesia juga musti dijadikan alarm untuk bersegera dengan antisipasi ke depan.

“Shell mau keluar dari Masela, Chevron mundur dari IDD, dan terakhir Conoco Philip Mei kemarin mengumumkan bahwa mereka akan pergi dr Blok Koridor,” urainya.

Menurutnya, suara-suara dari masyarakat yang mengingatkan untuk segera merombak Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam 3-4 tahun terakhir ini kelihatannya belum direspon secara mendasar. Meski begitu, lanjutnya, ada usaha improvisasi positif berupa: pembuatan Grand Strategy Energi Nasional, yang dalam tata urutan nomenklatur istilah dan perundangan formal tidak dikenal positioningnya.

“GSEN merupakan usaha untuk tidak jadi Sisipius, OK-lah. Tapi bahkan di dalam GSEN itupun kita masih berhadapan dengan Obsoleteness yang sama terkait dengan Kebijakan Energi Nasional. Salah satunya yaitu Bauran Energi yang masih keukeuh (tetap menginginkan) mau pakai minyak bumi lebih banyak daripada Gas di 2025 maupun 2050,” tuturnya.

Andang Bahtiar

Masih Selalu Ada Niche Untuk Minyak Bumi?

Dia menjelaskan, ada yang berpendapat bahwa tidak mengapa dunia sedang berubah menuju Energi Terbarukan, tapi kan minyakbumi masih akan terus dipakai, bukan sebagai pemain utama, tetapi pemain cadangan. Sebagai bahan baku, minyak bumi juga masih akan terus dipakai untuk jadi produk-produk petrokimia yang bermanfaat bagi umat manusia tanpa harus bikin emisi sebesar kalau dia dipakai sebagai sumber energi.

“Masih adalah “niche” itu. Masih ada ruang bergerak itu. Beberapa perusahaan minyak mediocre dan kecil (yang jarang atau tidak pernah masuk di radar pemberitaan dunia) mencoba menyikapi situasi dengan memanfaatkan “niche” itu. Tetapi kita juga tahu: “niche” – ruang khusus untuk terus menyuplai minyak dengan segala implikasi keuntungan bisnisnya itu akan diperebutkan oleh banyak pihak. Termasuk terutamanya oleh negara / perusahaan surplus minyakbumi. Dan kita sama-sama tahu, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Surplus dari mana? Lha wong kita net import minyak bumi, sejak 17 tahun yang lalu,” paparnya.

Jadi Bagaimana Sebaiknya Kita Bertransisi Energi?

Ia memandang, kelihatannya mulai ada kesadaran di atas sana. Ide tentang perombakan – perubahan menuju Transisi Energi yang di depan sananya masih tidak pasti itu mulai diwacanakan di beberapa kelompok yang concern dengan energi Indonesia sejak awal pandemi 2020 yang lalu.

“Salah satunya di kelompok Bimasena yang dikomandani begawan energi kita Prof Subroto. Beberapa kali Bimasena mengadakan acara membahas bagaimana kita harus merombak regulasi menuju Transisi Energi. Mereka menyuarakan usulannya ke pemerintah secara resmi. Juga aktifis-aktifis Energi Terbarukan (ET) di asosiasi-asosiasi seperi METI, AESI, API, ASELI, APAMSI, dan lainnya. Mereka tak henti-hentinya selama pandemi 2020 sampai sekarang ini menggedor ruang publik webinar kita dengan materi-materi penyadaran perlunya perombakan – perubahan regulasi menyangkut Transisi Energi ini,” terangnya.

Ia menegaskan, usaha pemerintah dalam hal ini (Kementerian ESDM) membuat Grand Strategi Energi di akhir 2020 dan mengemasnya dalam regulasi resmi (sampai sekarang belum keluar Perpresnya?) termasuk antisipasi yang perlu diacungi jempol, meskipun masih belum menjawab permasalahan secara kongkrit dalam bentuk eksekusi.

“RUPTL 2021-2030 juga lebih menekankan prioritas pembangkitan listrik dari PLTP (panas bumi) dan PLTA (air), meskipun masih banyak protes / ketidakpuasan dari para aktivis ET karena batubara yang “kotor” masih tetap menjadi andalan – tidak juga ada rencana phase-outnya yang jelas,” urainya kembali.

Menurutnya, yang paling mutakhir di awal Juli kemarin ini adalah DEN (Dewan Energi Nasional) mulai menyusun Peta Jalan Transisi Energi Menuju Energi Bersih yang jadi program utama mereka periode 2021-2025 ini.

Ia menambahkan, dari segi tata urutan regulasi, mestinya sih peta jalan itu akan mengubah – merivisi – merombak PP79/2014 Kebijakan Energi Nasional termasuk di dalamnya mengubah bauran energi kita.

“Tapi tetap saja gerakan-gerakan antisipasi yang saya uraikan di atas itu masih terkesan di atas kertas, rencana, peta jalan, himbauan, usulan, rekomendasi, wacana dan sejenisnya. Implementasi-nya butuh infrastruktur kelembagaan dan politik dan aktor-aktornya yang paham, militan, dan konsisten menjalankan apa yang ada di atas kertas itu semua. Pengalaman kita dengan KEN (Kebijakan Energi Nasional – PP 79/2014) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional – Perpres 22/2017), keduanya seringkali hanya jadi rujukan verbal formal tanpa kekuatan mengikat yang berarti,” jelas Andang.

Ia menilai, para pemimpin (sektor maupun sentral) yang kebetulan tidak begitu memahami dan atau menyerap roh inti dari aturan-aturan itu seringkali malahan bikin aturan pelaksana yang bertabrakan atau malah menindas aturan-aturan yang tertulis itu, demi pragmatisme kebutuhan sesaat anggaran – keekonomian yang jalan pintasnya dengan melanggar aturan-aturan besar tersebut.

Soal batubara misalnya, kata Andang, sampai sekarang angka-angka yang ada di KEN maupun RUEN itu tidak pernah ditaati, alias dilangkahi begitu saja.

“Jadi, reformasi jugalah itu kelembagaan dan para pemimpin eksekusinya. Atau minimal kita harus didik mereka terus menerus untuk bisa paham dan militan menjalankan rencana-rencana besar ini. Tapi kalau sudah di atas sana harusnya kita nggak perlu lagi lah mendidik orang-orang itu, kan mestinya mereka adalah orang-orang pilihan yang mumpuni.

“Kecuali kalau memang sistemnya adalah sekedar bagi-bagi jatah balas jasa pasukan tanpa memperhitungkan kompetensi. Mau bagaimana lagi?,” ungkapnya.

Gas! Gas! Gas! (Gaskeun Poll Gaes)

Di atas itu tadi baru usulan di tataran / level Kebijakan Energi besarnya. Lantas, bagaimana dengan usulan di sektor Energi Migas yang di pembukaan tulisan kita jadikan referensi? Bagaimana harusnya kita bersikap di urusan Migas ini?,” terangnya.

Menyadari bahwa cadangan gas kita 2-3 kali lipat dari cadangan minyakbumi (data 2020 ESDM gas 62.4 TCF, minyak bumi 4.2 BBO) dan potensi temuan baru cekungan-cekungan lebih banyak gas-nya daripada minyakbumi, maka sebaiknya pemerintah lebih memprioritaskan gas daripada minyakbumi dalam rencana bauran energi Indonesia.

“Bauran gas vs minyak yang 25% : 20% di 2025 dan 20% : 22% di 2050, harus berani kita ubah menjadi 15% : 30% dan 5% : 47% masing-masing di 2025 dan 2050, misalnya. Tentunya perhitungan rincinya akan tergantung dari berapa banyak kita berani mengurangi pemakaian batubara dan juga memasukkan nuklir sebagai sumber energi dalam bauran tersebut,” paparnya kembali.

“Nah, sambil merombak bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional supaya lebih ke gas daripada minyak dalam transisi energi ini, maka pada saat yang bersamaan kita harus terus menerus secara militan menjalankan paradigma (Energi Sebagai Modal Dasar Pembangunan Bukan Sebagai Penghasil Revenue Semata) dalam mengeksekusi persetujuan-persetujuan POD (Plan of Development) maupun terutama  dalam merencanakan dan membangun infrastruktur-infrastruktur gas di Indonesia,” imbuhnya.

Ia menuturkan, untuk POD yang butuh insentif sebaiknya berikan terus insentif – insentif itu. Terutama untuk POD-POD lapangan gas. Kalau perlu bahkan kurangi bagian pendapatan negara asalkan di mid-stream maupun hilirnya produk migas tersebut dapat memicu multiplier efek yang menghasilkan “gain” ekonomi yang lebih besar bagi negara.

Ia menjelaskan untuk infrastruktur gas, akan sangat ideal kalau Presiden perintahkan supaya sebagian besar pipa-pipa regional dan juga terminal-terminal regas dibangun dengan biaya – investasi pemerintah. Infrastruktur energi musti diperlakukan sebagai infrastruktur dasar ekonomi seperti jalan raya, pelabuhan dan jembatan.

Hulu migas

18 BCFPD Gas 2030

“Selain dua hal di atas, mari kita rombak sama-sama target 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di 2030 menjadi 18 BCFPD Gas 2030. Yang 1 Juta minyak bumi itu kita substitusi dengan 6 Milyar kaki kubik gas, ditambahkan pada target awal 12 Milyar kaki kubik menjadi total 18 Milyar,” paparnya.

“Target produksi minyak buminya bagaimana? Gak usah dibikin targetnya. Toh, nantinya di 2030 kebutuhan minyak bumi di pembangkitan listrik maupun di bbm kendaraan transportasi darat akan jauh berkurang disesuaikan dengan target baru bauran energi kita yang lebih dominan ke gas daripada minyak,” sambungnya.

Tentunya juga target substitusi kendaraan ber-BBM dengan kendaraan listrik musti secara ketat diimplementasikan.

“Kalau keseluruhan operator kontrak migas dibawah SKK Migas berhasil discovery sampai bisa produksi 1 Juta BOPD di 2030 itu ya Alhamdulillah. Kalau nggak tercapai ya gak apa-apa,” katanya.

“Mudah-mudahan saja perhitungan baru bauran energi kita di 2030 (yang saya asumsikan akan dikerjakan oleh DEN periode ini dalam kerja Pembuatan Peta Jalan Transisi Energi) mencukupkan kebutuhan minyak bumi kita hanya dari produksi dalam negeri sehingga tidak perlu sampai import segala. Kalaupun mendatangkan dari luar negeri cukup dengan mengambil alokasi minyak bumi yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan migas nasional yang beroperasi di luar negeri, terutama Pertamina,” terangnya.

Gas di Indonesia Timur Masih Ok

Ia kembali menjelaskan bahwa dalam konteks menggantikan target 1 Juta BOPD jadi tambahan 6 BCFGPD pada target gas, maka menjadi penting untuk memaknai hasil pertemuan para ahli senior G&G Indonesia yang dikoordinir oleh ESDM baru-baru ini yang mengindikasikan banyak daerah di Indonesia Timur lebih gas-prone daripada oil-prone. Lalu, karena target 2030 adalah minyak bumi maka para ahli itu menyarankan untuk tidak fokus pada daerah-daerah yang banyak tersebut, tapi cukup di 5 area yang kemungkinan masih ada minyaknya yaitu (Seram, Timor, Warim, Salawati Trend, dan Buton).

Dengan perubahan target minyak menjadi gas seperti diusulkan di atas, maka alternatif area pencarian sumber hidrokarbon baru di Indonesia Timur tersebut jadi lebih banyak. Bahkan daerah-daerah yang sudah dicoret dari daftar seperti Arafura Selatan, Selaru, Boka, Gas di Mamberamo, Kelanjutan Trend Gas PNG ke daerah Warim Papua, semuanya dapat dijadikan target program eksplorasi masif lewat penawaran-penawaran blok baru dengan data-data baru dari KKP dan tentunya term-term baru yang lebih menarik.

Biogenik, Non Konvensional, Basement, Volkanik, Pra-tersier, dan Hidrat

Ia menuturkan, dalam rangka Transisi Energi dari Energi Fossil menjadi Energi Terbarukan melalui gas, sepertinya perlu menengok ulang apa saja yang pernah diusulkan berbagai stakeholder migas beberapa tahun terakhir ini untuk mengakselerasi eksplorasi di Indonesia. Salah satunya adalah menggalakkan riset-riset (dasar dan terapan) G&G&E yang terkait dengan gas biogenik, migas non konvensional, migas di batuan dasar, migas di cekungan yang tertutup volkanik, stratigrafi dan sistim minyak bumi pra tersier dan juga tentang gas hidrat.

“Aspek gas dari berbagai obyek riset tersebut di atas sangat dominan, meskipun tentunya masih ada juga alternatif mendapatkan minyak bumi dari reservoir non konvensional, dari batuan dasar, volkanik dan atau di batuan pra-tersier Indonesia barat. Revival (menghidupkan kembali) semangat riset di lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi kita terkait dengan obyek-obyek penelitian tersebut akan langsung meng-upgrade usaha kita bersama mengawal transisi energi ini menjadi relatif lebih pasti daripada statusnya yang sekarang ini,” katanya.

Usaha-usaha trobosan kreatif sedang dilakukan oleh SKK Migas dan Kementerian ESDM untuk memungkinkan semua memulai riset – eksplorasi migas konvensional, kelihatannya dimulai dari blok Rokan. Mudah-mudahan saja hal tersebut dapat berjalan dengan lancar.

Discovery cadangan gas raksasa di batuan dasar di Kaliberau Dalam yang dilakukan oleh Repsol 2 tahun yang lalu juga memberikan sinyal positif kepada pemerintah untuk terus mendukung dan memfasilitasi riset-riset dan eksplorasi terkait dengan basement reservoir Indonesia.

“Mudah-mudahan saja dana riset untuk Badan Geologi dan Lemigas lebih ditingkatkan untuk menyasar obyek-obyek riset energi migas strategis itu. Kerjasama antara perusahaan kontraktor migas dengan lembaga riset dan perguruan tinggi memanfaatkan dana KKP mereka diharapkan juga dapat menyasar topik-topik strategis migas tersebut,” terangnya.

Halo Asosiasi Profesi

Uraian berbagai pemikiran terkait dengan transisi energi, migas dan kepastian masa depannya di atas itu akhirnya kembali ke sebagian pertanyaan di awal tulisan.

ia menanyakan, apa yang sudah dan akan dilakukan asosiasi profesi Indonesia seperti (ISPG/IAGI, HAGI, IATMI, IAFMI, dan chapter-chapter Indonesia dari Asosiasi-asosiasi Permigasan dunia) dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian masa depan industri migas dunia dan Indonesia itu?

“Lantas, apakah perlu meniru AAPG dan SPE dengan menggabungkan ISPG, IATMI, IAFMI dalam komunitas migas Indonesia? Atau jalan saja terus seperti sekarang ini dengan konsekuensi makin berkurangnya resources dana dan SDM karena persaingan pencarian volunteer dan sponsor yang makin ketat karena berkurangnya aktifitas industri migas kita?,” terangnya.

Menurut Andang, tentunya dari segi program peningkatan kompetensi dan advokasi regulasi terkait profesi, perlu juga dipertimbangkan berbagai uraian – analisis tentang gerak langkah dunia dan Indonesia di era transisi energi ini.

“Kompetensi-kompetensi terkait dengan gas, migas non konvensional, hidrat, dan terutama Energi Terbarukan perlu untuk mulai diprioritaskan. Prinsip-prinsip teknis bawah tanah dan permukaan terkait CCSU (Carbon Capture Storage and Usage) mustinya juga mulai banyak disasar dalam diskusi-diskusi dan acara-acara temu teknis,” paparnya.

Ia menerangkan, khusus untuk IAGI atau HAGI yang spektrum keprofesian-nya lebih luas dari sekedar migas, tentunya hal itu perlu dipertimbangkan untuk mendiversifikasi kegiatan jadi lebih beragam.

“Keahlian rekayasa geosains seperti geoteknik dan hidrogeologi konstruksi fasilitas energi, geologi & geofisika lingkungan, teknologi injeksi / pembuangan limbah berbahaya di permukaan dan bawah permukaan, kesemuanya jadi penting untuk dijadikan fokus baru kegiatan keprofesian dalam rangka mengantisipasi berkurangnya peran migas kita ke depan,” ungkapnya.

Diakhir analisis yang ditulis oleh Andang, ia mengatakan jaman dominasi minyak bumi di Indonesia sudah berakhir.

“Yang masih terus mengandalkan minyak bumi untuk ketahanan energi Indonesia berarti tidak membaca perubahan data potensi G&G&E migas kita dan tidak peka terhadap luka sejarah politik energi dan keuangan negara yang diakibatkan oleh status net-impor minyak bumi Indonesia sejak 2004 (17 tahun lalu) sampai jaman pandemi 2021 ini,” katanya.

“Kita masuk ke transisi energi menuju pemakaian energi terbarukan yang lebih bersih melalui fase utilisasi gas yang lebih mendominasi daripada minyak bumi dan insyaallah akan bisa mencapai dominasi ET 30-40-50 tahun dari sekarang ini,” imbuhnya.

Ia menegaskan, biarpun jaman batu, jaman perunggu dan jaman besi sudah berakhir, tetapi sampai sekarang manusia juga masih terus memakai batu, memakai perunggu dan juga besi untuk kehidupan sehari-hari.

“Dominasi minyak bumi di Indonesia memang sudah berakhir. Tetapi apakah profesi geologist, geophysicist dan engineer E&P minyak bumi di negeri kita juga segera berakhir, tergantung pada bagaimana kita semua mengantisipasinya,” tuturnya.

Selian itu, Ia menerangkan, ketidakpastian masa depan industri dan profesional migas di Indonesia dapat lebih kita pastikan dengan menggariskan tegas rencana langkah perubahan dan mulai melangkah sekarang, bukan sekedar berwacana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *