Dok EBTKE Kementerian ESDM

Fokus Kembangkan EBT, Nuklir Pilihan Terakhir

Jakarta, ruangenergi.comKoalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih meminta Komisi VII DPR RI dapat mengeluarkan pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil yang masih diikutsertakan dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).

Pasalnya, pada Kamis (17/9) lalu, Komisi VII DPR RI telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), untuk membahas draf RUU EBT dengan.

Peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon, mengatakan, dari draf RUU yang beredar, terlihat bahwa pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil masih diikutsertakan.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih berharap DPR RI akan mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari rancangan undang-undang ini.

Sebab, pembahasan RUU ini menjadi harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.

Wira menambahkan, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih sangat menghargai keterbukaan Komisi VII DPR RI dalam mengadakan RDPU yang mengakomodir masukan-masukan dari organisasi non-pemerintah. Pihaknya berharap bahwa kedepannya usaha meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi akan terus berlangsung dengan semakin banyaknya elemen masyarakat yang diundang untuk hadir dan bersuara dalam RDPU selanjutnya.

Koalisi ini berpandangan bahwa Komisi VII DPR RI seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU dan fokus membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bioenergi, dan panas bumi, yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai hambatan dan tantangan.

Dengan kerangka kebijakan ini diharapkan dapat menyiapkan Indonesia untuk lebih cepat melakukan transisi energi menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan.

“Nuklir memang seharusnya hanya jadi pilihan terakhir mengingat cadangan uranium kita tidak terlalu banyak. Sehingga jika Indonesia membangun PLTN justru akan mengurangi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi Indonesia kedepan. Ditambah lagi, kondisi geografis Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) menjadikan kita rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Risiko tersebut sangat berpotensi mengganggu pengoperasian PLTN maupun membahayakan sistem penyimpanan limbah nuklir,” katanya, (21/09).

Hal tersebut menjadi pembahasan tersendiri di dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Bahkan pembahasan tentang pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukkan dalam draf RUU Cipta Kerja (Omnibus Law Atur Kebijakan Pemanfaatan Nuklir untuk Listrik, Detik, 21 Januari 2020).

Selain itu, lanjutnya, di dalam Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia.

“Memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT akan berlawanan dengan azas dan tujuan dasar pembuatan RUU ini, diantaranya asas keberlanjutan, asas ketahanan, serta asas kedaulatan dan kemandirian,” papar Wira.

Antisipasi Pembangunan PLTN

Sementara, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan, pemerintah dan DPR seharusnya dapat mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN. Selain biaya yang sangat mahal, pembangunan PLTN membutuhkan waktu lebih lama apabila dibandingkan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan.

“Ke depan harga energi energi terbarukan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dari batubara yang juga harus harus segera ditutup,” ungkap Fabby.

Fabby menambahkan, adanya isu nuklir di dalam draf RUU EBT ini seharusnya menjadi perhatian bagi para Anggota Komisi VII DPR RI mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi yang menjawab ketahanan energi nasional.

“Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter yang berbeda dari energi terbarukan, serta resiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” imbuhnya.

Lebih jauh, Fabby melanjutkan, keberadaan RUU Energi Terbarukan pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan dukungan pada energi terbarukan dalam UU yang sudah ada sebelumnya, yaitu UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pengalaman di sejumlah negara berkembang seperti India dan Chili telah membuktikan bahwa adanya undang-undang khusus atau kerangka regulasi yang kuat khusus untuk energi terbarukan mampuĀ  mendorong dan mengakselerasi pembangunan energi terbarukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *