Holdingnisasi Panas Bumi, METI : Tak Hambat Investasi

Jakarta, Ruangenergi.comKetua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, mengatakan rencana holdingnisasi panas bumi tidak akan menggangu iklim investasi di sektor tersebut. Bahkan menurutnya, hal itu bisa jadi mempercepat target 23% Energi Baru Terbarukan (EBT) di 2025.

Ia menjelaskan, justru akan bermasalah jika dipandang dari kacamata politis apalagi dipengaruhi oleh berbagai isu yang tidak terkait dengan kemampuan teknis, kompetensi dan kemampuan finansial.

Lihat saja dulu pembangunan panas bumi dari sisi teknis dan ekonomis. Panas bumi, potensinya cukup besar. Pemanfaatannya bisa untuk listrik dan bisa juga untuk non listrik.

Seperti halnya untuk non listrik, Surya menjelaskan, itu pemanfaatannya langsung, misalnya untuk green house, pengeringan kopi dan teh, kolam renang, pengobatan dan lain-lain. Ini juga belum digarap secara maksimal.

Yang kedua dimanfaatkan untuk lsitrik. Untuk bisa menjadi listrik, ini memerlukan pengelolaan yang terintegrasi mulai dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari mencari sumberdaya, pemboran, pengelolaan reservoir, mengalirkan uap ke pembangkit baru mengelola pembangkit listrik.

“Disini mulai agak kompleks adalah sampai sebelum mengelola pembangkit karena menyangkut penentuan sumber daya yang ada dalam bumi, tidak terlihat, sulit diprediksi, perlu pengetahuan dan teknologi, penuh dan banyak risiko harus ada feeling dan pengalaman yang panjang. Karena itu tidak banyak yang mau bergerak disisi ini,” paparnya saat dihubungi Ruangenergi.com, (28/07).

Sementara, lanjutnya, kalau tahapan ini berhasil baru mendapatkan uap untuk dialirkan ke pembangkit menghasilkan energi, listrik. Disini, risiko sudah hampir tidak ada, tinggal bangun pembangkit, operasikan dan pelihara dengan baik.

Makanya dalam mendapatkan pendanaan pembangunannya, tahapan hulu sulit memperoleh pendanaan dibandingkan sisi hilir. Menurutnya, pengelolaan panas bumi berbeda dengan pengelelaan listrik yang menggunakan batubara, menggunakan air ataupun diesel.

“Oleh karena itu, sekali lagi saya mengajak melihat masalah ini dengan kacamata teknis dan ekonomis. Karena itulah, kita lihat dalam pembangunan panas bumi yang sudah lebih 40 operasional itu, ya Pertamina yang sekarang dilakukan melalui PGE,” terangnya.

“Pengalaman yang panjang ini tentu saja memudahkan pengembangan panas bumi seperti yang saya sebut diatas, ada feeling. Dan feeling ini tentu juga akan memberikan kepercayaan yang baik bagi investor dan penyandang dana ataupun lebaga keuangan jika akan memberikan batuan. Karena itu, saya mengajak kita melihat masalah ini secara jernih,” jelasnya.

Lantas persoalannya, kata Surya, untuk mengembangkan panas bumi itu, selain aspek teknis tadi, juga ada aspek keekonomian. Jika tidak memiliki nilai keekonomian, maka tidak ada yang akan membiayai.

“Untuk mendapatkan uap panas bumi dan membangun PLTP, rata-rata memerlukan biaya sampai US$ 6 juta per MW. Lihat saja Supreme Energy yang membangun PLTP di Muara Laboh sebagai PLTP yang cukup baru di negeri kita, butuh waktu 12 tahun baru bisa operasional mulai dari survei mencari potensi sampai pada operasikomersial PLTP. Biayanya juga untuk 85 MW itu lebih dari US$ 570 juta. Hal ini yang menyebabkan perlu pemikiran yang tepat jika ingin membangun panas bumi,” tuturnya.

Karena itu, ia mengemukakan, akan sangat sulit mencari perusahaan, terutama perusahaan kecil untuk membangun panas bumi. Kalau dilihat, hanya Pertamina yang sangat kosnsiten membangun PLTP sejak tahun 1970-an. Akan tetapi Pertamina tentu saja perlu dukungan.

“Semakin perusahaan dan terpercaya, akan semakin mudah dalam menggalang pendanaan untuk membangun panas bumi. Disinilah barangkali muncul pemikiran mendirikan holding panas bumi agar ada sinergi dari beberapa perusahaan yang selama ini aktif di panas bumi, khusunya perusahaan pelat merah,” katanya.

Ia kembali menjelaskan, soal penunjukan PGE sebagai holding BUMN Panas bumi akan menaikkan tarif listrik yang dibeli PLN sepertinya hal tersebut tidak relevan. Dalam konteks ini, apapun holdingnya, tentu saja usaha panas bumi akan jalan jika ada kepastian bahwa investasi yang ditempatkan pada sektor ini akan mendapatkan pengembalian yang wajar dengan margin yang juga wajar.

“Apakah itu PGE atau anak usaha PLN yang lain karena pembeli listrik itu ya tunggal hanya PLN. Justru yang harus kita fikirkan adalah bagaimana caranya setalah ada group usaha BUMN Panas bumi, proses merger dan corporate culturenya harus cepat beradaptasi,” bebernya.

Lebih lanjut, ia menambahkan, saat ini PLN mengelola lapangan terintegrasi menjadi listrik itu ada di Ulumbu dan Mataloko. Juga sedang melakukan pemboran di Tulehu, Ambon. Sedangkan di Kamojang, Darajat dan Salak yang dikelola Indonesia Power adalah membangun sisi hilir dari panas bumi yaitu pembangkit.

Sementara PGE mengelola 14 lapangan panas bumi dan pembangkit di seluruh Indonesia mulai dari Kamojang di Jawa Barat, sampai Lahendong di Sulut.

“Setelah terbentuknya Holding Panas bumi harapannya adalah WKP yang selama ini tersebar, dan setelah ada Holding yang dipimpin oleh PGE yang punya reputasi International, tentu akan memberikan dukungan pada percepatan pengembangan panasbumi yang sekaligus dapat meningkatkan peran panas bumi dalam bauran energi yang ditargetkan dalam RUEN yang harus mencapai 23% tahun 2025,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *