Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengungkapkan bahwa terkait dengan kenaikan harga minyak dunia, hal ini justru menjadi dua sisi yang berbeda bagi Indonesia.
“Dari sisi hulu, kenaikan ini menjadi berkah seiring dengan ikut terdongkraknya ICP kita. Dengan demikian PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor migas sudah tercapai untuk tahun 2021 ini,” ungkap Mamit saat dihubungi Ruangenergi.com, (15/10).
Ia menjelaskan, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), target PNBP sektor migas sudah mencapai 131% dari target untuk bulan September saja.
“Dan terus akan naik sampai akhir tahun ini untuk PNBP. Belum lagi pendapatan negara dari kebijakan fiskal yang lain,” tuturnya.
Menurutnya, dengan kenaikan ini diharapkan bisa terus meningkatkan investasi di sektor hulu migas. Selain itu, Mamit menyebut, kenaikan ini juga bisa memacu untuk meningkatkan target lifting migas nasional.
“Upaya peningkatkan kegiatan explorasi harus terus dilakukan ditengah naiknya harga minyak dunia,” kata Mamit.
Sementara, lanjutnya, dari sisi hilir ini bisa menjadi problem (masalah) bagi badan usaha terutama PT Pertamina (Persero). Mengapa demikian, karena, jelas Mamit, kenaikan ini menyebabkan harga minyak acuan MOPS/Argus ikut mengalami kenaikan.
“Ditengah kita sebagai net importir maka pastinya akan meningkatan CAD kita. Hal ini bisa menyebabkan terdepresiasinya mata uang rupiah kita yang bisa mengarah terjadinya inflasi,” bebernya.
Mamit mengatakan, kenaikan ini seharusnya mendorong Pertamina untuk menaikan harga BBM non subsidi. Namun demikian, sampai sejauh ini Pertamina bisa menaikan harga BBM non subsidi selain Pertamax Turbo atau Pertamina Dex.
“Padahal konsumsi BBM jenis Pertamax dan Pertalite sangat dominan saat ini.
Namun, dengan pertimbangan bisa meningkatkan terjadinya inflasi dimana kenaikan Rp 500 bisa membuat inflasi 0.02% maka pemerintah menahan terlebih dahulu kenaikan harga bbm tersebut,” tutupnya.