Jakarta,ruangenergi.com-Indonesia merupakan salah satu negara dalam peta dunia disebut sebagai surga sumber daya alam yang sangat melimpah. Bentuk nyata dari melimpahnya sumber daya alam Indonesia dalam sejarah peradaban bangsa kita, menjadi alasan utama bagi bangsa-bangsa dari Benua Eropa untuk datang melakukan ekspansi penaklukan wilayah Indonesia.
Sejak Tahun 1511 diawali oleh Portugis di Malaka, diikuti juga oleh Spanyol di Tidore Tahun 1521, selanjtnya disusul Belanda mendarat di Pelabuhan Banten pada Tahun 1596 sampai Tahun 1942 dan di gantikan oleh Jepang hingga akhirnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tangaal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Kedatangan bangsa barat ke Indonesia tentu bertujuan tidak hanya melakukan ekspansi penaklukan wilayah semata, tetapi lebih fokus terhadap pengambilan sumber daya alam yang ada di negeri yang di gambarkan seperti surga. Komoditas yang menjadi fokus untuk di ambil awalnya yaitu rempah-rempah, yang memang menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi bangsa barat dan harga jualnya dapat di katakan cukup tinggi dalam hitungan ekonomi.
Seiring berjalannya waktu dan terjadinya revolusi industri pada Tahun 1760 di Benua Eropa, membuat beralihnya pengambilan sumber daya alam di Indonesia oleh bangsa eropa berupa biji besi dan batu bara, sebagai salah satu bahan utama untuk menggerakkan roda industri.
Setelah Negara Indonesia Merdeka dan pengalaman dijajah ratusan tahun yang berakibat diambilnya sumber daya alam secara cuma-cuma oleh bangsa penjajah, memberikan semangat pengelolaan sumber daya alam terkhususnya di sektor pertambangan dan energi.
Bentuk nyata dari Negara terhadap kedaulatan pertambangan dan energi yaitu pada tanggal 27 September 2008 terbit Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 22 Tahun 2008 tentang Hari Jadi Pertambangan Dan Energi dan di tetapkan pada tanggal 28 September sebagai Hari Pertambangan dan Energi.
Penetapan hari Pertambangan dan Energi di dasarkan salah satunya pada peristiwa penting sejarah pertambangan dan energi di Indonesia, yaitu peristiwa pengambilan alih Kantor Chisitsu Chosasho (Jawatan Geologi) dari pihak Jepang oleh sekelompok pegawai pribumi pada tanggal 28 September 1945.
Peristiwa ini merupakan simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk menguasai sumber daya alamnya sendiri. Adapun tujuan dari peringatan hari pertambangan dan energi diantaranya yaitu, memperingati peristiwa penting dalam Sejarah pertambangan dan energi di Indonesia, memupuk rasa Nasionalisme maupun Patriotisme dalam pengelolaan sumber daya alam, meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pertambangan dan energi pembangunan nasional dan peningkatan peran pertambangan dan energi dalam wujud kemandirian dan kesejahteraan bangsa.
Usia 78 tahun peringatan hari pertambangan dan energi pada tahun 2023 saat ini, apabila di umpamakan dengan usia normal manusia, tentu dapat golongkan sebagai manusia yang sudah berumur tua dengan memilki segudang pengalaman hidup.
Begitu juga dengan kondisi tata Kelola pertambangan dan energi di Indonesia, yaitu usia serta memiliki pengalaman pengelolaan pertambangan dan energi sejak Indonesia merdeka sampai saat ini. Momentum saat ini haruslah menjadi refleksi bagi semua pihak supaya dapat mewujudkan kedaualtan negara disektor pertambangan dan energi.
Pada hakikatnya pengelolaan pertambangan dan energi Indonesia telah diatur dalam konstitusi negara sebagai struktur hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan, yang tercantum pada pasal 33 ayat 2 yang menyatakan “Cabang-Cabang Produksi Yang Penting Bagi Negara Dan Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Dikuasai Oleh Negara” dan ayat 3 menyatakan bahwa “Bumi Dan Air Dan Kekayaan Alam Yang Terkandung Di Dalamnya Dikuasai Oleh Negara Dan Dipergunakan Untuk Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat”.
Secara filosofi hakikat pengelolaan sumber daya alam adalah pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan aspek-aspek penguasaan, pengaturan pengawasan, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Hambatan dan Tantangan Tata Kelola Pertambangan dan Energi di Indonesia
Industri di sektor pertambangan dan energi berbeda dengan industry pada umumnya, sektor ini memiliki ciri khas yaitu biaya tinggi (Hight Cost), resiko tinggi (Hight Risk), berhubungan erat dengan geopolitik dunia dan kebijakan pemerintah. Ciri khas ini yang membuat industri pertambangan dan energi menjadi salah satu perhatian khusus bagi suatu negara, termasuk Indonesia.
Karena, seperti yang di jelaskan penulis perebutan sumber daya alam khususnya hasil pertambangan dan energi merupakan barang yang dicari oleh semua negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Indonesia sendiri selama perkembangan mengelola pertambangan dan energi dikategorikan cukup sulit untuk menghadapi kenyataan dinamika kebutuhan energi di wilayah global. Seperti pada kondisi lahirnya perjanjian paris atau yang biasa kita kenal dengan nama Paris Agreement. Perjanjian internasional tersebut menekankan upaya bersama dari 195 negara yang hadir, untuk saling bergotong royong menghadapi perubahan iklim atau climate change yang di sebabkan oleh penggunaan energi fosil sehingga berakibat pada kondisi tingginya emisi karbon yang di hasilkan.
Langkah Indonesia dengan ikut menandatangani paris agreement sebagai negara hukum pada tanggal 24 Oktober 2016 Lembaran Negara Nomor 204 Tahun 2016 mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) sebagai bentuk ratifikasi kesepatakan Internasional.
Namun, secara das sein dan das sollen tidak sepenuhnya mendukung. Pembangunan industri di sektor energi baru dan terbarukan masih sangat lesu, dikarenakan tidak ada kepastian hukum dan rendahnya investasi. Faktanya ketergantungan masyarakat menggunakan bahan bakar fosil masih tidak bisa digantikan, hingga mengakibatkan tingginya angka pemenuhan energi secara nasional untuk subsisi BBM.
Sektor pertambangan mengingat begitu surplusnya jumlah batubara, sumber dari pembangkit listrik di Indonesia mayoritas harus menggunakan bahan baku batubara dan pembangunan pembangkit listrik dari batu bara juga terus dilakukan di tengah gencarnya penggunaan energi bersih.
Kondisi ini dalam analisa penulis, Pemerintah Indonesia sedang berupaya mengurai satu-persatu permasalahan tata Kelola pertambangan dan energi. Terbukti dengan beberapa kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah berpihak terhadap transisi energi dan peningkatan nilai ekonomi (economy value). Seperti, Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang berpihak terhadap pemenuhan kebutuhan nasional terlebih dahulu sebesar 30% dari produksi di Tahun 2022.
Selain itu dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara dan di tambah dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja upaya peningkatan economy value dengan kebijakan yang mewajibkan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan hilirasi di dalam negeri. Terakhir, di sektor pertambangan penegasan terhadap implementasi penawaran divestasi saham pemegang ijin usaha pertambangan kepada BUMN, BUMD, dan swasta nasional menjadi upaya bentuk negara menjaga kedaulatan sektor pertambangan.
Selain itu semua, bentuk hambatan dan tantangan di wilayah kebijakan perencanaan dan kepastian hukum masih terdapat pekerjaan rumah yang harus segera di seleseikan.
Wilayah kebijakan perencanaan pertambangan dan energi implementasi terhadap Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) dalam diversifikasi sumber energi, target bauran energi nasional sebesar 23% energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025. Kenyatannya Pada tahun 2023, porsi EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 12,3%. Porsi ini masih didominasi oleh energi fosil, yaitu batu bara sebesar 35,36%, gas bumi sebesar 19,36%, dan minyak bumi sebesar 34,38%. Sehingga secara umum dalam wilayah kebijakan perencaan masih jauh dari target yang ditetapkan.
Sedangkan di wilayah kepastian hukum dan pertambangan, juga memiliki pekerjaan rumah yang harus selesei dengan cepat. Fakta yang ada, Negara masih setengah hati mau melakukan kepastian hukum dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Belum lagi dengan kondisi disharmonisasi peraturan perundang-undangan sektor energi satu sama lain.
Hemat penulis seharusnya bentuk pengaturan di sektor energi menjadi satu dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi,. Apabila membutuhkan harus ada aturan turunan, tentu dapat di terbitkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sesuai hierarki peraturan perundang-undangan.
Transformasi Tata Kelola sebagai jalan keluar
Bangsa Indonesia diketahui bersama tidak lepas dari peranan founding father yaitu Soekarno, sosok yang berani dalam setiap keputusan untuk menasionalisasi sumber daya alam di tengah tarik menarik kepentingan politik luar negeri saat itu perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Soekarno menyampaikan pada tanggal 17 Agustus 1959 di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan para Mernteri Kabinet Kerja. “Negara kita kaya, tetapi rakyat kita miskin. Mengapa? Karena sumber-sumber kekayaan alam kita dikuasai oleh orang asing. Kita harus merdeka dalam arti yang sebenarnya, yaitu merdeka dalam arti ekonomi. Merdeka dalam arti ekonomi berarti kita harus menguasai sumber-sumber kekayaan alam kita sendiri.”
Pesan yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidato kenegaran pada saat menjabat sebagai presiden sebuah keniscayaan bagi masyarakat diberikan karunia sumber daya alam yang kaya dan tugas bangsa Indonesia mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pidato terserbut juga selaras dengan semangat yang tertuang dalam konstitusi Negara Indonesia Pasal 3 ayat 2 dan 3.
Momentum hari jadi pertambangan dan energi 2017 masyarakat Indonesia masih dihadapkan dengan kondisi permasalahan tata Kelola pertambangan dan energi seperti yang penulis sampaikan sebelumnya. Penulis melihat pada tahun 2024 dan 2025 akan dilaksanakan dua momentum penting bagi perjalanan Negara Indonesia. Pertama, momentum transisi kepemimpinan eksekutif dan legilatif secara bersama dilakasanakan pemilihan umum 2024. Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertanyakan apa yang menjadi tawaran bagi calon yang duduk sebagai Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif) serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (legislative) untuk mengatasi transformasi tata kelola pertambangan dan energi. kedua, momentum pembahasan Rencanan Jangka Panjang Nasional (RPJP) yang akan dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (RUU SPPN). Ini merupakan momentum kedua bagi masyarakat Indonesia setelah menentukan pilihan pada pemilihan umum 2024 yaitu merencanakan pembangunan nasional tata kelola pertambangan dan energi 20 tahun kedepan.
Maka dengan melihat jumlah sumber daya alam yang melimpah di Indonesia dan berbagai permasalahan tata kelola pertambangan dan energi, menurut penulis transformasi tata kelola pertambangan dan energi harus dilakukan dengan cara gotong royong oleh semua pihak, Pemerintah, DPR RI, Yudikatif dan Masyarakat. Sebagai satu kesatuan bangsa yang memiliki jati diri serta berpedoman terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, problematika tidak tercapainya perencanaan dan tidak ada kepastian hukum dalam tata kelola pertambangan dan energi, harus mampu di carikan solusi dengan merumuskan trransformasi perencanaan pengelolaan pertambangan dan energi serta mampu di implementasikan bersama oleh semua warrga negara, yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan pertambangan dan energi di Indonesia.
Rifqi Nuril Huda, Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Wakil Sekertaris Jendral Dewan Energi Mahasiswa Indonesia (DEM Indonesia)