Krisis Energi

Pemerintah Diminta Antisipasi Dampak Krisis Energi yang terjadi di Inggris, China dan India

Jakarta, Ruangenergi.comAnggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, meminta Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi krisis energi yang terjadi di negara Eropa dan Inda.

Hal tersebut dikatakan oleh dalam program “Energy Corner” CNBC Indonesia, bertajuk Transisi Energi vs Krisis Energi, yang disiarkan Senin, (11/10/2021).

“Kita bandingkan dengan negara yang telah mengalami krisis energi UK, China, dan India. Itu menurut saya karena mereka memposisikan energi sebagai acuan dan didominasi oleh beberapa sumber, seperti di Inggris dominasi gas nya terlalu tinggi. Ketika harga gas nya itu terganggu (tinggi) secara umum akan terganggu,” kata Mulyanto.

Anggota Komisi VII DPR

Ia menjelaskan, Indonesia relatif saat ini menggunakan energi mix dsn tidak bergantung pada satu sumber energi. Melainkan banyak sumber seperti Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Air, Panas Bumi, Surya, Biogas, dan lainnya.

“Kalau kita ini relatif energi mix yang pertama, dan yang kedua sekarang ini 70% nya masih batubara dan ditambah sumber lain seperti air, panas bumi, matahari, artinya sumber daya ada di dalam negeri. Artinya ketahanan (energi) kita baik, cuma ini yang menjadi catatan adalah 70% kita tergantung pada PLTU, nah ketika terjadi krisis seperti ini harga batubara melebihi US$ 200 per ton akibatnya ada daya trik internasional,” terang Mulyanto.

Untuk itu, ditengah harga batubara yang sedang tinggi seperti saat ini, pemerintah diminta untuk mengawasi para pengusaha untuk menyediakan pasokan untuk dalam negeri dan jangan mengekspor secara berlebihan.

“Pengusaha “nakal” bisa mengekspor batubara kita, kalau itu terjadi dan melebihi DMO (Domestic Market Obligation), PLN kita bisa gelap. Karenanya pemerintah harus mengawasi betul bahwa DMO 25% tidak boleh dilanggar, jika melanggar harus dikasih sanksi yang keras. Jadi jangan sampai kita ikut mengalami krisis energi,” imbuhnya.

Selain itu, ia mengakui bahwa kenaikan harga batu bara ini berdampak pada meningkatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta pajak. Namun katanya hal ini perlu dioptimalkan dengan menaikkan royalti.

“Dengan harga tinggi, saya juga usulkan royalti dari batu bara bisa dinaikkan. Royalti dinaikkan, sehingga keuntungan kita melalui ekspor bisa dinaikkan,” ujarnya.

Ketum METI

Sementara, ditempatkan yang sama, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, mengatakan, Indonesia memiliki ketahanan energi yang berbeda dengan negara lain di Eropa.

Saat ini, katanya, Indonesia masih bergantung pada batubara sekitar 70% untuk kelistrikan, dan kemudian sisanya ada Gas bumi, Minyak Bumi, dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) baru sekitar 10%.

“Sebagian besar EBT di Indonesia menggunakan energi yang berbasis pada air dan panas bumi. Menurutnya, air dan panas bumi kondisi ketahanannya hampir sama dengan batubara,” imbuhnya.

Akan tetapi, katanya, transisi energi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini sampai 2050 dan 2060, bahkan di 2060 menuju Net Zero Emission, artinya penggunaan batubara sudah tidak digunakan lagi.

“Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah bagaimana menyiapkan penurunan penggunaan energi yang berbasis fosil khususnya batubara dengan EBT secara baik agar tidak terpengaruh situasi dan kondisi seperti yang dialami Inggris, China dan India,” paparnya.

Dia menjelaskan, Inggris, China dan India, memang saat ini transisi energi yang sedang dijalankan sangat bergantung pada gas bumi. Oleh karena itu, ketika pasokan gas mengalami masalah dan harganya terlampau tinggi dan berdampak pada tingginya harga energi di Inggris.

“Ini saya kira harus diantisipasi dengan baik oleh pemerintah Indonesia,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *