Jakarta,ruangenergi.com-Saat Kebijakan Energi Nasional (KEN) disusun sebelum tahun 2014, Kementerian ESDM sudah memiliki target pemanfaatan energi terbarukan sebesar 25% pada tahun 2025. Tetapi target itu kemudian direvisi menjadi 23% tahun 2025 dan ditetapkan melalui PP79/2014 sebagai amanah UU 30/2007.
Tentu saja harapannya adalah regulasi ini akan menjadi landasan acuan bersama dalam meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Harapan itu jelas terlihat dengan beberapa kebijakan yang diatur dalam Permen ESDM sejak 2014 yang cenderung sangat program pada pengembangan energi terbarukan. Bukan hanya simbol-simbol juga dilaksanakan misalnya dalam penyebutan, energi terbarukan bukan lagi sebagai energi alternatif, tetapi menjadi energi utama.
Demikian diutarakan oleh Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Surya Darma kepada ruangenergi.com, Jumat (16/4/2021) di Jakarta.
Surya menuturkan terlihat juga dalam simbol urutan sebutan maka Dirjen EBTKE juga menjadi urutan nomor satu baru Dirjen lainnya. Hal ini memberikan sinyal simbol perubahan kebijakan yang fokus pada energi terbarukan. Namun ketika semangat ini baru tumbuh dan belum sempat berkembang, sejak tahun 2017 semangat itu luntur akibat perubahan kebijakan dari Menteri ESDM hasil reshufle akhir tahun 2016. Mulailah era baru, energi terbarukan agak stagnan kecuali beberapa proyek panasbumi yang memang butuh lama pengembangan nya dan sudah masuk tahap pengembangan karena sudah ada PPA.
Selebihnya lebih banyak strugle untuk memperoleh keekonomian atau kepastian hukum, bankability untuk memperoleh financial yang makin sulit dan juga kewajiban BOOT yang tidak bankable. Belum lagi RUPTL yang diinisiasi PLN dan disahkan Menteri ESDM juga seringkali tidak sejalan dengan RUEN. Akibatnya, pengembangan energi terbarukan tidak sesuai dengan harapan KEN dan RUEN. Saat ini, capaian baru sekitar 10-11% dari upaya memenuhi 23% tahun 2025.
Apalagi jika dikaitkan dengan upaya memenuhi target NDC tahun 2030 akan semakin terancam jika tidak serius dilakukan upaya yang agresif.Namun demikian, masih ada harapan dengan upaya Menteri ESDM yang akan melakukan revisi beberapa Permen yang selama ini menjadi kendala pengembangan energi terbarukan dengan rencana terbitnya Perpres pembelian listriknoleh PLN dari energi terbarukan. Hal ini sangat diperlukan mengingat saat ini, tren dunia untuk melakukan transisi energi menuju Net Zero Emision tahun 2050 sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Bahkan pada acara IEA – COP26 Net Zero Summit tgl 31 Maret yang lalu yang dihadiri Menteri ESDM Arifin Tasrif sangat tegas disebutkan bahwa energi fosil adalah common enemy dalam penggunaan energi ke depan. Beberapa negara yang menyatakan Net Zero (emisi) memang memiliki kondisi dan situasi yang berbeda-beda sebagaimana prinsip CBDR dalam mengimplementasikan pembangunan perekonomian nasional.
“Akan tetapi, kita juga akan malu jika mengusulkan Net Zero Emision pada tahun 2070. Luhut bahkan meminta PLN dalam pertemuan dengar pendapat pengembangan energi terbarukan yang dihadiri Pertamina, PLN, METI dan Asosisasi ET serta Menteri ESDM itu bisa mewujudkan Net Zero Emision pada tahun 2045 saat 100 tahun Indonesia merdeka. Ini sebuah tantangan dan perlu dilakukan upaya khusus,”ungkap Surya.
Surya menambahkan,menurut Menteri Arifin saat Sesi Intervensi Catalysing Near-Term Implementation pada acara IEA-COP26 Net Zero Summit, menyampaikan bahwa, proses transisi energi menjadi salah satu langkah krusial yang dapat ditempuh oleh dunia internasional dalam mengurangi emisi karbon sehingga menciptakan sistem energi yang berkelanjutan dan lebih bersih.
“Transisi (energi) ini menjadi sentral dalam mencapai agenda SDGs 2030,” ungkap Surya menuturkan ulang perkataan Mesdm Arifin Tasrif waktu itu.
Kebijakan Jangka Pendek
Kementerian ESDM sendiri, tengah menyusun kebijakan jangka pendek melalui Grand Strategi Nasional sebagai bentuk keseriusan mengimplementasikan NDC. Indonesia sebagai salah satu negara yang masih komit terhadap NDC dan tengah menyesuaikan kembali sistem perencanaan pembangunan nasional.
“Kami melihat bahwa beberapa langkah yang ditempuh Indonesia dalam mencapai target tersebut sudah on track, tapi masih perlu agresif. Grand strategy Energy Nasional mencakup antara lain melakukan konversi pembangkit energi fosil menjadi pembangkit EBT, mengoptimalkan pemanfaatan biofuel, meningkatkan pemanfaatan panel surya di darat, bekas lahan tambang dan rooftop, mengembangkan potensi tenaga air dan panas bumi, mengoptimalkan pemanfaatan EBT untuk daerah terpencil, memanfaatkan sumber biomassa untuk cofiring pembangkit listrik tenaga batubara, hingga menyiapkan Peraturan Presiden tentang tarif energi terbarukan,”papar Surya.
METI,lanjutnya, berharap harus ada inisiatif baru jika upaya memenuhi Net Zero Emision tahun 2045 sebagaimana harapan Menko Marinvest Luhut Pandjaitan. Kami dari METI tetap konsisten mengusulkan Inisiatives RE 50/50 Indonesia. Hal ini bisa jadi Inisiatives Indonesia saat pertemuan G20 tahun depan.
“Dengan inisiatif ini, kita akan datang dukungan banyak negara untuk bisa memperoleh keuntungan mendapatkan investasi mengembangkan energi terbarukan. Inisiatif ini harus dimatangkan. Kami baru menyusun gambaran besar dari sisi strategi dan langkah aksi umum. Perlu dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Misalnya, bagaimana peran dan kemauan PLN untuk cofiring phaseout dll,”pungkas Surya.