Jakarta, ruangenergi.com- Anggota DEN Satya Widya Yudha menjadi keynote speaker pada acara Webinar 2021 yang diselenggarakan virtual oleh Reforminer Institute yang bekerja sama dengan PT Pertamina Hulu Indonesia dengan tema Update Perkembangan Kondisi Lingkungan Politik-Ekonomi Industri Hulu Migas Nasional.
Acara ini dibuka oleh Chalid Said Salim Direktur Utama PT Pertamina Hulu Indonesia yang menyampaikan bahwa kondisi politik dan ekonomi yang sangat dinamis telah memberikan pengaruh terhadap industri hulu migas nasional.
Lebih lanjut, menurut Chalid perubahan situasi politik akibat pergantian kepemimpinan akan berdampak kepada perubahan atau kebijakan didalam bidang perekonomian dan efeknya juga dirasakan oleh sektor hulu migas.
Selanjutnya Satya Widya Yudha pria lulusan Cranfield University, UK ini menyampaikan amanat PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, kemandirian dan ketahanan energi dapat dicapai melalui penggunaan energi sebagai modal pembangunan.
Artinya bahwa gas menjadi backbond energi balance kita kedepan karena merupakan energi fosil yang bersih. Adapun Batubara yang tertulis dalam RUEN sebagai penyangga dapat diformulasikan dengan teknologi bersih seperti CCUS atau clean coal technology dan bahkan upgrading seperti Coal to Liquid atau Coal to Gas. Ini semua sejalan dengan skenario transisi energi kita menuju Net Zero dimana Fossil tetap berperan dengan mengemukakan teknologi bersih, ujar Satya.
Satya yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini juga menjelaskan bahwa berdasarkan perhitungan proyeksi RUEN, pada tahun 2025 share energi primer minyak dan gas masing masing sebesar 25% dan 22%, sementara batubara 30% dan EBT 23%.
Dengan demikian hingga tahun 2025 peran energi fosil terutama minyak dan gas bumi masih cukup besar, namun bauran energi EBT pada tahun 2050 dapat berubah sejalan dengan adanya perubahan paradigma penggunaan energi bersih, pungkasnya.
Adanya program Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) telah mendorong beberapa Kementerian/Lembaga untuk memproyeksikan rencana penurunan emisi jangka panjang sehingga mencapai zero emisi, ujar Satya.
Beberapa kajian telah menghitung target Net Zero Emmision (NZE) yang diproyeksikan terjadi pada tahun 2060 atau 2070, namun target tersebut akan sulit tercapai mengingat sebagian besar energi yang digunakan saat ini adalah energi fosil, sehingga diperlukan skenario transisi energi sebelum mencapai target NZE.
Satya menekankan untuk meningkatkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan energi Pemerintah tetap berupaya meningkatkan produksi minyak bumi menjadi 1 Juta BOPD dan produksi gas 12 BSCFD pada tahun 2030, demi memenuhi kebutuhan energi nasional, seperti yang telah diprogramkan dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN).
Untuk membuat iklim investasi hulu migas lebih menarik, diperlukan perubahan kebijakan dan regulasi terkait fiskal diantaranya pemberian insentif yang fleksibel dan kompetentif antara lain penyesuaian split, assume dan discharge, ring fencing, Komitmen Kerja Pasti, signature bonus dan fasilitas pajak tidak langsung, tambahnya.
Satya menyampaikan selain itu IPA juga mengharapkan pemerintah tidak mengenakan pajak karbon bagi industri migas dengan kontrak eksisting dan mengusulkan adanya pembebasan PPN serta mengharapkan agar seluruh pengadaan barang dan jasa di industri migas oleh K3S harus terlebih dahulu disetujui oleh pemerintah.
Di akhir, Satya mendorong dukungan tumbuhnya industri migas, diperlukan kepastian hukum yang jelas yang saat ini kebijakan di sektor Migas masih menunggu tuntasnya pembahasan RUU Migas yang tertunda karena adanya prioritas penyelesaian RUU EBT.
“Penyelesaian RUU Migas seharusnya tetap diperhatikan agar terdapat kepastian bagi dunia usaha untuk pengembangan sektor migas kedepan”, tutup Satya