Jakarta, Ruangenergi.com – Permasalahan lalu lintas di Kota Medan terkait kemacetan dan polusi udara kian menjadi-jadi. Fenomena permasalahan klasiknya, adlah kemacetan dan polusi, dan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi Kota Medan sekaligus keluhan utama warga Medan.
Sebagai salah satu kota aglomerasi di Indonesia, Medan menduduki rating ketiga terbesar setelah Jakarta dan Surabaya. Sebagai kota aglomerasi, Medan mewarisi karakter klasik kota aglomerasi, yakni jumlah penduduk yang padat, dan kemacetan lalu lintas yang berujung pada polusi udara.
Terkait hal ini, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan bahwa sudah saatnya Kota Medan membangun akses angkutan umum massal, baik yang berbasis rel seperti MRT, LRT, monorel maupun angkutan umum massal berbasis jalan raya, yakni BRT (Bus Rapid Transit), seperti Transjakarta di Kota Jakarta
“Pemkot Medan juga perlu membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi secara permanen, seperti ERP (Electronic Road Pricing), tarif parkir progresif, dan juga sistem hanjil genap,” kata Tulus dalam dialog publik bertajuk Mendorong Implementasi BBM Ramah Lingkungan di Kota Medan yang digelar YLKI, Selasa (28/7).
Yang terpenting lagi, kata dia, sudah saatnya Pemerintah Kota (Pemkot) Medan mengganti BBM yang lebih ramah lingkungan seperti Pertamax, atau Dexlite, dan Pertamina Dex dan meninggalkan BBM tak ramah lingkungan seperti Premium, bahkan Pertalite dan Solar. “Sudah seharusnya Kota Medan mewajibkan konsumen BBM di wilayah tersebut menggunakan BBM yang lebih ramah linngkungan,” ucapnya.
Namun menurut dia, aspek harga juga harus dipertimbangkan. Untuk itu pihaknya meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan managemen PT Pertamina (Persero) untuk mendorong terwujudnya formulasi harga pokok (struktur biaya) BMM yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga BBM ramah lingkungan tetap terjangkau harganya. “Harga yang dibayar konsumen harus mencerminkan kualitas BBM. Jangan sampai ada image bahwa BBM ramah lingkungan adalah BBM yang harganya mahal,” tukasnya.
Dan yang paling penting, lanjut Tulus, adalah perlunya edukasi kepada konsumen terkait prodct knowledge sehingga konsumen mengerti plus minus menggunakan jenis BBM tertentu. “Sangat ironis jika konsumen ingin menghemat BBM dengan harga murah, dengan membeli premium, namun konsumen dalam posisi merugi, karena keandalan premium terhadap mesin sangat buruk, dan juga lebih boros, daripada konsumen menggunakan BBM dengan RON yang lebih tinggi,” paparnya.
Selain itu, kata dia, jika Pemkot Medan dan Pemprov Sumut tidak melakukan intervensi serius untuk membangun angkutan massal, pembatasan ranmor pribadi plus mengganti BBM yang ramah lingkungan; maka Kota Medan akan semakin terperangkap kemacetan dan polusi.
“Dan klimaksnya, kerugian sosial ekonomi dari kemacetan dan polusi sangatlah besar, salah satunya tingginya prevalensi penyakit tidak menular. “Mendapatkan lingkungan dan udara yang bersih dan sehat adalah hak asasi warga Kota Medan dan sekitarnya, hal ini merupakan keadilan ekologis bagi setiap warga Kota Medan,” pungkasnya.(SF)