Catatan Redaksi: Industri Migas dan Emisi Karbon

Jakarta,ruangenergi.com-Dalam 3rd East Asia Energy Forum pada 19 November 2020 lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa peran penting pengembangan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) untuk mengurangi emisi CO2.

Indonesia berkomitmen dalam penggunaan bahan bakar fosil yang lebih bersih. Termasuk melakukan efisiensi energi dan energi terbarukan memiliki peran penting dalam pengurangan emisi CO2, namun saat ini di sebagian besar kawasan ASEAN dan Asia Timur penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi, seperti halnya di belahan dunia lainnya.

Arifin memaparkan bahwa saat ini CCUS menjadi bahasan penting di tingkat global untuk mengurangi emisi CO2 dan menggunakannya kembali untuk meningkatkan oil recovery di ladang minyak yang sudah habis.
Indonesia memiliki banyak sumber CO2 industri seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, pengolahan gas alam, kilang minyak, dan berbagai pabrik kimia. Saat ini studi kelayakan pada pilot project CCUS di Lapangan Gundih di Jawa Tengah telah dilakukan dan diproyeksikan total potensi pengurangan CO2 mencapai 2,9 juta ton selama 10 tahun.

Arifin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam peningkatkan kemampuan dan penggunaaan CCUS. Diperlukan penguatan kerangka kerja sama pemerintah dan swasta, melalui pembuatan platform yang berkelanjutan untuk akselerasi implementasi CCUS, identifikasi peluang investasi dan perbaikan lingkungan usaha, serta sosialisasi kebijakan, regulasi dan best practices.

Sejak 2017 Indonesia telah mendirikan National Center of Excellence CCS/CCUS untuk peningkatan kapasitas nasional dalam aspek teknis, keselamatan, ekonomi, sosial, dan regulasi dari kegiatan CCS/CCUS. Kegiatan utama lembaga ini adalah dengan memperkuat kerangka kerja pemerintah dan swasta melalui pembuatan platform, identifikasi peluang investasi, sosialisasikan kebijakan dan regulasi, dan best practice CCUS.

Konsep ruang lingkup emisi diperkenalkan oleh The Greenhouse Gas Protocol (Protokol GRK).
Tujuannya: Untuk menentukan bagaimana perusahaan mengendalikan emisi yang menjadi tanggung jawabnya. Apakah kita sendiri yang menyebabkan emisi, atau apakah kita menyebabkannya secara tidak langsung, melalui rantai pasokan kita?

Di mana cakupan emisi digunakan?

Protokol GRK adalah alat akuntansi internasional yang paling banyak digunakan bagi pemerintah dan pemimpin bisnis untuk memahami, mengukur, dan mengukur emisi gas rumah kaca (GRK) .
Dengan demikian, cakupan emisi banyak digunakan dalam upaya politik untuk mengatur emisi karbon – misalnya melalui perpajakan karbon . Sebagian besar konstruksi penetapan harga karbon saat ini, misalnya, hanya memperhitungkan emisi lingkup 1.

Tujuan lain dari cakupan emisi yang berbeda adalah untuk meningkatkan transparansi dan membuat metode akuntansi dan pelaporan yang berbeda lebih berguna untuk berbagai jenis organisasi. Singkatnya, industri tertentu mungkin memiliki banyak kendali atas emisi tidak langsungnya – yang lain mungkin tidak.

Cakupan 1: Emisi Langsung
Emisi Gas Rumah Kaca Langsung berasal dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh entitas pelapor. Ini bisa menjadi emisi yang secara langsung diciptakan oleh barang-barang manufaktur, misalnya, asap pabrik.

Cakupan 2: Emisi Tidak Langsung dari Energi
Lingkup 2 rekening untuk Emisi Gas Rumah Kaca dari generasi pembelian di listrik, uap, dan pemanasan / pendinginan.

Emisi ini secara fisik terjadi di fasilitas di mana listrik, uap dan pendinginan atau pemanasan dihasilkan. Namun sebagai pengguna energi, pihak konsumen tetap bertanggung jawab atas Emisi Gas Rumah Kaca yang tercipta.

Cakupan 3: Emisi Tidak Langsung
Cakupan 3 Emisi adalah emisi dari sumber yang tidak dimiliki dan tidak dikendalikan secara langsung oleh perusahaan pelapor. Namun, mereka yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Ini biasanya dianggap sebagai rantai pasokan perusahaan, sehingga emisi yang disebabkan oleh vendor di dalam rantai pasokan, aktivitas yang dialihdayakan, dan perjalanan karyawan.

Di banyak industri, emisi Cakupan 3 menyumbang jumlah emisi GRK terbesar. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa dalam perekonomian saat ini, banyak tugas dialihdayakan, dan hanya sedikit perusahaan yang memiliki seluruh rantai nilai produk mereka.

Emisi Lingkup 1 dan 2 jauh lebih mudah dihitung daripada emisi Lingkup 3 – karena alasan sederhana bahwa emisi tersebut dikendalikan langsung oleh perusahaan. Untuk mengukur emisi Cakupan 3 secara efektif, perlu menyelami lebih dalam rantai nilai ini, sebuah komitmen yang belum siap diambil oleh banyak perusahaan.

Terlepas dari kenyataan, bahwa pengungkit terbesar untuk mengurangi emisi karbon terletak di sana,
pertanyaannya apakah Indonesia – Skk Migas siap untuk melakukan seluruh scope tersebut atau salah satu scope tersebut guna mencapai net zero? Berapa biaya yang siap dirogoh oleh pemerintah melalui cost recovery?

Biaya yang perlu dikeluarkan tidaklah sedikit dan tentu akan mempengaruhi pendapatan negara dari migas. Misalnya saja program CO2 sequestration. Berapa perusahan yang sudah melakukan ini? Akankan ada pengaruhnya terhadap energy affordability seiring dengan cost yang naik? Atau apakah net zero ini bisa di ubah menjadi carbon trading dan atau peremajaan hutan-hutan di Indonesia? Sederet pertanyaan inilah yang ditanyakan banyak pihak.

Godang Sitompul, Pemimpin Redaksi Ruang Energi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *