Jakarta, Ruangenergi.com – PT Pertamina (Persero) mengungkapkan kebutuhan masyarakat dan industri akan Bahan Bakar Minyak (BBM) cenderung menurun di tengah Pandemi Covid-19. Akan tetapi pihaknya tetap menjaga produksi kilang agar tetap beroperasi untuk menghindari kejadian yang tidak di inginkan seperti kerusakan peralatan kilang.
Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Ignatius Tallulembang, mengatakan, meski kebutuhan akan BBM dalam negeri mengalami penurunan, akan tetapi Produksi kilang tetap berjalan.
“Walaupun kebutuhan demand dalam negeri menurun tetapi kita harus pertahanan produksinya (kilang minyak). Kalau Produksi kilang kita di stop ada potensi kerugian yang cukup besar dan tentunya ada pertimbangan-pertimbangan yang tentu kita perhatikan,” jelas Ignatius, dalam RDP dengan Komisi VII DPR, secara virtual, (05/10).
Menurutnya, ada tiga jenis bahan bakar yang diproduksi oleh kilang Pertamina untuk kebutuhan masyarakat dan industri domestik dalam negeri, yang dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, diantaranya, BBM; Non BBM dan; Petrokimia.
“Adapun yang masuk ke dalam ketegori BBM yakni, Gasoline series : Premium Ron 88, Pertalite Ron 90, Pertamax Ron 92, Pertamax Turbo Ron 98. Lalu, GasOil series : Biosolar, Dexlite, Pertamina Dex. Kerosene (minyak tanah), dan Avtur, serta IFO (HSFO) dan MFO Low Sulfur,” imbuhnya.
Sementara yang masuk kedalam kategori Non BBm yakni, LPG; Paraxylene; Benzone; Green Coke; Aspalt; Solvent Series (SBPX, LAWS, Solphy, Minarex, Minasol, Smooth Fluid), serta Lube oil base (HVI’s, VCBS, EXDO, dan Paraffinic Oil.
Kemudian, yang masuk ke dalam kategori Petrokimia yakni, Prophylene dan Polytam.
Sementara, produksi kilang yang tidak dapat diserap oleh market domestik akan di ekspor, karena (kondisi Covid-19 menyebabkan penurunan demand domestik signifikan) ke market internasional.
Pasalnya, produk yang diekspor menyesuaikan kebutuhan market international serta memperhitungkan kemampuan produksi Pertamina.
Seperti halnya Avtur dan Gasoil, yang semua balance excess akibat demand domestik turun signifikan (Covid-19). Prioritas untuk market domestik (normal condition).
Selanjutnya, Light Cycle Oil, demand seasonal, bahan baku industri. Decant Oil, balance excess (tidak terserap domestik).
MFO Low Sulfur, balance excess (tidak terserap domestik karena industri mengalami penurunan). Komponen residu tinggi sulfur, balance excess (tidak terserap domestik), dan diekspor sebagai High Viscous Residue (HVR).
“Ada saatnya, sebagimana kondisi saat ini (Covid-19) produk kita over supply, sehingga kita mencari solusi untuk bisa dipasarkan di luar negeri tentunya dijual berdasarkan harga market, dan ini untuk mempertahankan operasional kilang kita” jelasnya.
Sebagai informasi, di tengah masa Pandmei Covid-19 Kilang yang dimiliki Pertamina sebagian besar diturunkan kapasitasnya, beroperasi pada kapasitas minimum (Turn Down Ratio capacity) 75% dari kapasitas kilang.
“Kalau kita turunkan lagi kapasitasnya, akibatnya itu bisa merusak peralatan dan sebagainya. Sehingga kita menjaga pada kondisi minimum,” imbuhnya.
Menanggapi paparan dari Pertamina, Anggota Komisi VII DPR, Kardaya Warnika, menanyakan perihal Pertamina menjual solar lebih murah ke luar negeri, dibandingkan yang dijual di dalam negeri.
“Isu yang saya baca dimedia pemberitaan (Pertamina jual solar ke luar negeri lebih murah), itu sangat tidak mengenakan dan itu adalah isu negatif kepada Pertamina. Saya ingin menanyakan khusnya kepada Dirut Pertamina (Nicke Widyawati) tolong sampaikan yang jelas bahwa yang sebenarnya terjadi itu bagaimana,” katanya.
Ia menambahkan, mungkin yang di ekspor itu bukan solar, sebagaimana solar yang diketahui oleh masyarakat awam yang dijual di dalam negeri. Tetapi mungkin itu solar High Speed Diesel (HSD).
“Tapi kan pengertian umum high speed diesel itu ada kata-kata dieselnya, sehingga masyarakat awam menilai bahwa itu BBM solar untuk mesin diesel. Karena ini sangat menggangu nama Pertamina, Dirut Pertamina harus menyampaikan sejelas-jelasnya ini apa,” imbuh Kardaya.
Selanjutnya terkait isu kerugian Pertamina, Kardaya menyampaikan, yang namanya perusahaan itu wajar bisa untung bisa rugi. Akan tetapi, kata Kardaya yang tidak boleh adalah rugi yang direncanakan.
Khusus kerugian ini, dirinya menaruh perhatian khusus kepada produksi Biosolar yang dari kelapa sawit.
Ia mengatakan, di beberapa negara seperti Brasil mereka pernah 100% bahan bakarnya dari bio yakni dari Singkong Cassava.
“Kalau di Indonesia bio nya itu dihasilkan dari kepala sawit yang sekarang B30, nanti kedepan hingga B100. Akan tetapi saya tidak pernah mengetahui bagaimana keekonomiannya. Apakah itu proyek untung atau proyek rugi?,” tanya Kardaya.
Sebab Kardaya menanyakan hal itu karena waktu Brasil sudah bisa mengahasilkan bahan bakarnya dari Cassava, akhirnya proyek itu ditutup karena rugi besar. Saat itu, Brasil memutuskan untuk kembali lagi menggunakan minyak bumi atau minyak mentah.
“Jangan sampai kita sudah maju sampai 30% dan berencana hingga 100% bio, tau-tau di ujungnya itu merupakan sesuatu yang tidak diuntungkan. Biar bagaimanapun nilai keekonomian harus dipertimbangkan,” tandasnya.