Fakultas Hukum UGM

Fakultas Hukum UGM Soroti UU Cipta Kerja

Jakarta, Ruangenergi.com –  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH-UGM), menyoroti terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang telah menjadi Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah.

Berdasarkan paparan FH-UGM yang beredar di kalangan wartawan, pihak FH UGM, telah menuangkan ke dalam sebuah catatan dengan judul, “Kertas Kebijakan: Catatan Kritis Dan Rekomendasi Terhadap Ruu Cipta Kerja, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maret 2020”, sebagaimana dikutip, (07/10).

Dalam sebuah Catatat Kritis Dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja tersebut, dilakukan oleh beberapa penyusun yang tergabung dalam sebuah tim.

Adapun yang tim penyusun Catatat Kritis Dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja, di antaranya : Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M;
Prof. Dr. Maria S.W Sumardjono, S.H., MCL, MPA; Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H., M.Hum;
Prof. Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum;
Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.Hum;
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M;
Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M;
Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M;
I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M, Ph.D, dan; Nabiyla Risfa Izzati, S.H., LL.M.

Dalam sorotannya di sektor energi yang terdiri dari pertambangan Mineral dan BatuBara (Minerba), pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) khususnya Panas Bumi (Geothermal), serta di sektor Ketenagalistrikan. Tim Penyusun mendapatkan adanya pengulangan pengaturan dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan BatuBara (UU Minerba).

Menurutnya, RUU Cipta Kerja mengikuti konsep UU Minerba, namun menambah satu ayat yakni ayat (4) pada Pasal 134 terkait dengan penyelesaian tumpang tindih antara kegiatan pertambangan dengan kawasan hutan, rencana tata ruang, Perijinan Berusaha/ Persetujuan, dan/atau hak atas tanah yang diatur dengan Perpres.

Tidak ada gambaran tentang sektor mana yang akan diberi prioritas dan alasannya, yang dapat menyiratkan ketiadaan jaminan kepastian hukum.

Pemberian “cek kosong” juga tampak dalam Pasal 138A RUU yang menyebutkan bahwa “Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan, dan ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan ini juga tidak mencerminkan kepastian hukum dalam berusaha ketika terjadi permasalahan terkait dengan hak atas tanah yang memang rentan terjadi.

Selanjutnya, terkait, Pengubahan UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 42 UU Panas Bumi hanya dengan menambahkan frasa “Pelaku Usaha pemanfaatan langsung atau pelaku usaha Panas Bumi” dalam pembukaan kalimat.

Namun tetap alpa mencantumkan secara eksplisit masyarakat hukum adat sebagai pihak yang tanah ulayatnya sebagian atau seluruhnya, akan digunakan oleh pelaku usaha. Kealpaan ini dapat diartikan bahwa perumus RUU tidak memahami esensi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 terkait pengakuan masyarakat hukum adat.

Sementara, Terkait UU No. 30 Tahun 2009 tentang UU Ketenagalistrikan, RUU hanya mengganti frasa “pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik” dalam Pasal 30 UU Ketenagalistrikan dengan frasa “pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik”.

Yang tetap menjadi masalah adalah ketidakjelasan pengaturan tentang kompensasi sebagai akibat penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha, yang tidak disebutkan rambu- rambunya dalam RUU dengan hanya menyerahkan pengaturan selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah.

Masih belum jelas apa maksud rumusan “berkurangnya nilai ekonomi” atas tanah, bangunan serta tanaman di atas tanah yang berimplikasi pada kepastian hukum dan keadilan bagi pihak terdampak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *