Jakarta, Ruangenergi.com – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) merasa perlu memberikan tanggapan atas penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan praktik monopoli dalam penyediaan avtur di bandara. Menurut Presiden FSPPB, Arie Gumilar, tuduhan ini tidak hanya tak berdasar, tetapi juga menunjukkan ketidakadilan dalam pengawasan persaingan usaha di sektor penerbangan.
Hal ini diungkapkan Presiden FSPPB, Arie Gumilar dalam acara Seminar Publik berjudul “Keran Avtur Dibuka ke Asing dan Swasta, Bagaimana Nasib Pertamina?” yang diselenggarakan oleh Komunitas Sobat Energi di Jakarta, Selasa (01/10).
“Menurut kami permasalahan utama yang menyebabkan mahalnya harga tiket penerbangan domestik justru berakar pada potensi adanya kartel bisnis maskapai penerbangan, yang seharusnya menjadi fokus pengawasan KPPU,” tukasnya.
Selain itu, kata dia, konsumen telah lama menjadi korban dari harga tiket yang tidak wajar akibat kemungkinan adanya praktik kartel di antara maskapai domestik.
“Hal ini yang patut diduga sebagai penyebab utama dari mahalnya biaya penerbangan di Indonesia, bukan harga avtur semata,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Arie, sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk mengawasi persaingan usaha secara adil, KPPU seharusnya memprioritaskan pengawasan terhadap konsentrasi pasar di sektor maskapai penerbangan itu sendiri, dari pada memusatkan perhatian pada penyediaan avtur yang dilakukan Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga, yang sudah sesuai regulasi dan beroperasi secara transparan.
“KPPU seharusnya lebih memperhatikan faktor lain yang benar-benar memengaruhi harga tiket penerbangan,” cetusnya.
Labih jauh Arie menuturkan, FSPPB juga telah memastikan bahwa harga avtur secara historis tidaklah lebih mahal dibandingkan kompetitor di regional Asia Tenggara, bahkan dengan mempertimbangkan kompleksitas geografis dan pola distribusi bahan bakar minyak (BBM) di seluruh Indonesia yang sangat rumit.
“Meski secara keekonomian tidak selalu menguntungkan, Pertamina tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari tanggung jawab kepada negara dengan menyediakan avtur di seluruh bandara, bahkan di lokasi yang sulit dan tidak ekonomis,” tukasnya.
Pihaknya juga melihat keanehan lain dalam situasi ini, di mana karpet merah seolah digelar bagi pihak swasta, bahkan asing, untuk masuk ke pasar avtur di Indonesia. Isu ini bukan hal baru dan terus diangkat berulang kali, sesuatu yang sangat disayangkan oleh FSPPB dan seluruh pekerja di Pertamina Group.
:Kami bisa saja mengajukan komplain, bahkan marah, tetapi kami tetap percaya bahwa masih ada orang-orang baik di negeri ini yang dapat melihat dan bertindak adil, baik dari pihak pengambil kebijakan maupun pemerintah,” katanya.
Selain itu, Arie menegaskan bahwa FSPPB menolak adanya indikasi pemaksaan penggunaan sarana dan fasilitas (sarfas) Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) milik Pertamina oleh pihak swasta yang ingin masuk ke bisnis avtur di Indonesia.
Pertamina, lanjut dia, telah membangun infrastruktur dengan investasi besar, jadi seharusnya pihak swasta yang ingin berbisnis avtur di Indonesia membangun infrastruktur sendiri, bukan sekadar “nebeng” fasilitas Pertamina.
“Bukankah ketika hendak membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Malaysia, Pertamina juga diwajibkan untuk memiliki kilang dan storage sendiri? FSPPB percaya bahwa kebenaran akan terungkap, dan kami berharap agar KPPU menjalankan tugasnya dengan lebih objektif, tanpa terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan amanah undang-undang dan kepentingan rakyat,” papar Arie.
Pihaknya juga meminta kepada masyarakat, pemangku kepentingan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut mengawasi langkah-langkah yang diambil oleh KPPU.
“KPK perlu melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga negara yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan pengusaha tertentu yang hanya mencari keuntungan di tengah kondisi ekonomi nasional yang sulit,” tuturnya.
Sementara itu, Arie berharap, di tengah keresahan atas tudingan-tudingan dan siaran pers yang membuat seluruh pekerja tidak nyaman, FSPPB meminta seluruh pekerja Pertamina tetap fokus bekerja dan menunggu komando selanjutnya dari FSPPB terkait langkah-langkah yang akan diambil.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan telah menyebarkan berita bohong dan fitnah terkait harga tiket pesawat mahal karena menyangkut harga avtur. Menurutnya, sebagai Menko Marves maka harusnya Luhut BInsar melakukan croscek terlebih dahulu, bukan hanya menyalahkan satu kompenen saja.
“Itu kan aturannya ada (harga avtur), maka dia (Luhut BInsar) harus bertanggung jawab dengan kebohongan itu (harga tiket pesawat mahal karena harga avtur) fitnah,” ujarnya.
Menurut Marwan, pernyataan Luhut tersebut sudah membuat resah masyarakat. Selain itu imbas pernyataan Luhut juga ada pihak yang dirugikan yakni Pertamina, BUMN yang selama ini mensuplay bahan bakar perawat. Padahal pernyataan Luhut tersebut tidak mendasar dan tidak berdasarkan data. Karena yang menentukan harga avtur adalah pemerintah, sehingga bukan Pertamina saja.
“Jadi itu kan (pernyataan Luhut) bohong, kenapa dia tidak cross check apalagi dia mewakili negara,” tandasnya.
Marwan juga meminta Luhut untuk tidak menjadi objek demi kepentingan oligarki yang berburu rente besar. Oleh karena itu menurut Marwan, Luhut memang pantas untuk digugat. Apalagi Indonesia merupakan negara hukum, sehingga pernyataan Luhut tidak dimainkan oleh oligarki demi kepentingan investasinya di Indonesia.
“KPPU juga harus dituntut. Saya dorong masyarakat sepeti YLKI, SP Pertamina untuk ikut menggugat, saya kira enggak perlu takut juga untuk menggugat,” pungkasnya.(SF)