Kata Mantan Wamen ESDM , Batu Bara Bisa Diubah Jadi Bahan Bakar Mobil dan LPG

Ruang Energi.com, Jakarta– Setelah kalah pada perang dunia kedua, pengembangan dan pengoperasion CTL technology yang menghasilkan gasoline, gasoil, lubrican dan waxes bagi Jerman harus dihentikan. Kesepakatan ini tertuang dalam the Postdam Conference pada bulan July – Agustus 1945 yang dihadiri oleh Soviet Union, UK dan US.
Pada tahun 1950 an, teknologi yang mengubah batubara menjadi bahan bakar ini dikembangkan lebih lanjut oleh Sasol, perusahaan pengolah batubara, minyak dan gas dari Afrika Selatan.

Beberapa alasan yang bisa kami pelajari dari pengembangan teknologi CTL ini di Afrika Selatan adalah pertama, tidak tersedia cadangan minyak yang bisa mengamankan kebutuhan energi dalam negeri mereka. Kedua, tersedianya cadangan batubara sekitar 10 milyar ton (ranking ke 12 di dunia). Ketiga, politik apartheid yang dijalankan sejak tahun 1948-1990 membuat negara ini diembargo oleh PBB.

Adanya embargo perdagangan itu membuat Afrika Selatan tidak bisa mendapatkan akses untuk membeli minyak dari negara lain. Untuk keluar dari situasi itu, Sasol, perusahaan energi di negara itu, akhirnya mampu memproduksi bahan bakar sintetik dengan teknologi CTL, walaupun dari segi keekonomian jauh lebih mahal daripada BBM. Sekitar 30% kebutuhan bahan bakar Afrika Selatan mampu dipenuhi oleh Sasol yang didukung penuh oleh kebijakan negara.

Sasol memilih untuk mengembangkan jenis Indirect Coal Liquefaction (ICL). Ada dua step utama yang harus dilalui untuk mendapatkan bahan bakar sintetik dari teknologi ICL. Step pertama, batubara diolah untuk menghasilkan gas carbon monoksida dan hydrogen. Kedua gas ini dinamakan dengan synthetic gas (syngas). Step kedua, syngas diolah menjadi solar, methanol atau DME (subsitusi LPG).

Berbeda dengan ICL, Direct Coal Liquefaction (DCL) hanya memerlukan satu step untuk mengubah batubara menjadi semi-coke sebagai produk utama, coal tar dan gasoline. Tergantung dari jenis hydrocarbon yang menjadi target produksi, proses DCL dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga pendekatan; pyrolysis, carbonization atau hydrogenation. Semi-coke dapat digunakan sebagai reduktor di smelter Nickel.

Dengan segala kontroversi dari politik apartheid, Sasol menjelma menjadi salah perusahaan petrochemical dan energi kelas dunia yang beroperasi di 30 negara. Bisnisnya tidak lagi terbatas pada Coal to Liquid tapi sudah berkembang ke Gas to Liquid (GTL). Salah satu tonggak sejarah bagi Sasol untuk menjadi perusahaan kelas dunia adalah dengan mulai membangun GTL plant di Ras Lafran Qatar pada tahun 2003. Di 2009, Sasol, Petronas, and Uzbekneftegaz memulai joint venture untuk membangun GTL plant di Uzbekistan.

GTL adalah proses refinery yang mengubah natural gas menjadi hydrocarbon cair seperti gasoline dan diesel. Prosesnya tidak jauh berbeda dengan Indirect Coal Liquefaction dengan rantai proses yang lebih pendek. Proyek GTL akan ekonomis apabila harga natural gas jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga crude oil dalam unit yang sama.

Negara negara yang kaya akan natural gas tapi tidak cukup punya produksi crude oil akan sangat terbantu dengan GTL plants ini. Kebutuhan diesel dan gasoline di negara tersebut akan tercukupi dengan adanya GTL plant. Kalau negara yang kayak crude oil dan juga natural gas, biasanya gas akan di proses menjadi LNG untuk di diekspor ke negara lain.

Dengan mencermati pengalaman Sasol yang sudah membangun GTL dan CTL, lalu mana yang lebih efisien dari kedua proses ini. Kita lanjutkan segera.(Arcandra Tahar, mantan Wakil Menteri ESDM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *