Pangkalpinang, ruangenergi.com — Dalam menjalankan usaha pertambangan, kepastian hukum merupakan hal yang sangat penting bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kepastian berusaha bagi pemegang IUP telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta berbagai regulasi turunannya.
Dalam peraturan tersebut, terdapat ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi pemegang izin, termasuk ketentuan mengenai hak dan kewajiban pemegang IUP serta aspek pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial.
Namun, nampaknya hal ini belum bisa dirasakan oleh PT Timah, pasalnya sebagai pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Perairan Beriga, Kabupaten Bangka Tengah.
Pakar Hukum Tata Kelola Pertambangan Timah Dr. Firdaus Dewilmar, S.H, M.Hum menjelaskan, dalam perspektif hukum, IUP merupakan hak yang dilindungi oleh negara dan hanya dapat dicabut apabila terbukti adanya pelanggaran yang signifikan terhadap ketentuan yang berlaku.
Hal ini menandakan bahwa selama perusahaan memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai peraturan dan tidak melanggar hukum, perusahaan memiliki hak penuh untuk menjalankan kegiatan pertambangan.
Firdaus menjelaskan, PT Timah Tbk sebagai penerima mandat negara berupa IUP dapat melaksanakan proses penambangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini juga berkaitan dengan kepastian berusaha yang harus dimiliki perusahaan.
“Negara sebagai pengelola kekayaan negara terlibat dalam konteks pengaturan dengan adanya regulasi yang menaungi. Dalam beberapa kasus, kegiatan pertambangan kerap menghadapi penolakan, baik karena kekhawatiran terhadap dampak lingkungan maupun alasan sosial lainnya. Tentu saja aspirasi masyarakat sangat penting, namun IUP dan aturan – aturan lainnya adalah landasan hukum yang memberikan legalitas dan kepastian berusaha bagi sebuah perusahaan untuk melakukan usaha pertambangan,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, penolakan terhadap pertambangan selalu terjadi dalam konteks irisan antar ruang ekonomi masyarakat, sejauh tidak berdasarkan pada pelanggaran atas regulasi yang dilakukan perusahaan, tidak dapat menggugurkan kewajiban perusahaan untuk melakukan kegiatan operasionalnya.
“Sebagai entitas bisnis, perusahaan yang telah memiliki IUP memiliki kewajiban untuk mengelola WIUP, tidak hanya menambang namun juga kewajiban untuk membayarkan pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai dengan aturan yang berlaku sebagai pemilik IUP,” katanya.
Bahkan ketentuan pada UU No. 3 Tahun 2020 juga menegaskan bahwa ‘Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta Rupiah).
Dalam hal ini kata kata dia, dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nomor 3 tahun 2020 tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Perairan Beriga masuk dalam zona pertambangan. Sehingga jika bicara tata ruang, pelaksanaan penambangan yang dilaksanakan PT Timah telah sesuai dengan ruang laut.
Kendati demikian, dia menyebutkan aspirasi masyarakat perlu dipandang sebagai masukan penting yang dapat mendorong perusahaan untuk lebih meningkatkan upaya mitigasi dan edukasi terkait pertambangan dan aturan.
Dalam konteks PT Timah, secara regulasi telah mengantongi izin penambangan sejak tahun 1993 dalam bentuk kuasa penambangan. Kemudian disesuaikan dengan regulasi Pemerintah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi pada tahun 2010 lalu.
“Dalam konteks PT TIMAH, saya melihat izinnya sudah lama, jadi logikanya tentu saja sudah banyak kewajiban yang ditunaikan perusahaan untuk menjaga kawasan. Sebagai perusahaan negara, PT Timah juga harus segera menyelesaikann tugasnya untuk memberikan kontribusi kepada negara dengan melaksanakan pertambangan yang mengedepankan aturan yang berlaku di kawasan WIUP yang telah dimiliki tersebut,” ucapnya.
Apabila hal ini dibiarkan terus berlarut, tentunya kata dia akan menimbulkan kerugian bagi PT Timah sebagi pemilik IUP. Hal yang harus dipahami bersama, PT Timah tidak sepenuhnya sebagai entitas bisnis, sebagai perusahaan pertambangan timah yang merepresentasikan negara, PT Timah juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi bagi bangsa, masyarakat dan negara.
“PT Timah ini kan punya negara, dikelola negara yang manfaatnya harus balik lagi ke negara. Kalau ini dibiarkan tentunya bukan hanya PT Timah yang rugi tapi negara juga rugi. Karena punya potensi, memenuhi kewajiban tapi tidak dilaksanakan,” cetusnya.
Namun, dari segi hukum, selama perusahaan mematuhi semua peraturan dan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perusahaan dapat menjalankan operasinya di bawah payung aturan yang sah.
Perusahaan kata dia juga harus melakukan pendekatan kolaboratif, karena harmonisasi menjadi bagian penting untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Sehingga bisa mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat yang manfaatnya bisa dirasakan langsung.
“Kepastian hukum ini sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga juga kontribusinya dapat bermanfaat terhadap pendapatan negara dan juga daerah. Saya kira, terwujudnya pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab, sinergis dan sesuai dengan aturan yang berlaku adalah tujuan semua pihak,” tutupnya.
Firdaus khawatir justru penolakan penambangan legal di Batu Beriga justru berpotensi menumbuh suburkan tambang ilegal di kawasan tersebut. Sebagaimana juga terjadi di wilayah Bangka Selatan.
“Jangan sampai terjadi seperti di laut Bangka Selatan akhirnya malah penambangan ilegal yang mendominasi di IUP PT Timah. Kalau seperti itu yang akan terjadi, malah menjadi lebih rumit karena berdampak pada tanggungjawab pasca tambang, kemudian pendapatan negara akan merugi. Jangan sampai yang ilegal kita bolehkan tapi yang legal dihalang-halangi,” sebutnya.