Membangun Kilang Minyak yang Menguntungkan

Jakarta, Ruangenergi.com –  Ada banyak alasan kenapa sebuah negara atau perusahaan membangun kilang. Salah satu diantaranya yakni untuk menjamin pasokan BBM dan produk lain yang handal, sehingga tidak tergantung dari faktor eksternal seperti perang atau bencana alam yang dapat mengganggu rantai suplai.

Hal tersebut dikatakan oleh Eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, dalam sebuah postingan di Sosial Media miliknya.

Dalam postingannya, ia menuliskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aspek komersial dari sebuah kilang minyak.

Menurutnya, ditengah polarisasi geopolitik yang kian meruncing dewasa ini, faktor supply chain menjadi sangat strategis. Namun di industri apapun, termasuk kilang minyak, aspek komersial perlu menjadi bahan pertimbangan. Apalagi ditengah persaingan global dalam hal utilisasi, kapasitas kilang dan margin akan menentukan profitability dari kilang tersebut.

“Dari data yang kami pelajari, rata rata utilisasi kilang dunia tahun 2015-2020 sekitar 80%. Itu berarti dalam setahun, 80% kapasitas kilang terpakai untuk menghasilkan produk yang bernilai. Angka ini cukup bagus mengingat banyak faktor yang mempengaruhi utilisasi ini seperti tingkat ketersedian (inventory) dari BBM di dunia, pertumbuhan ekonomi dan lain-lain. Utilisasi kilang dihitung berdasarkan berapa volume crude yang diolah dibandingkan dengan kapasitas kilang,” terang Arcandra, dikutip laman Facebook miliknya.

Bagaimana cara menghitung refinery margin?, Ia mengatakan, angka ini diperoleh dengan menghitung berapa harga produk yang dihasilkan (BBM, dan lain-lain) dikurangi dengan harga crude yang menjadi input kilang.

Kalau harga crude yang diperoleh murah, sementara harga BBM naik atau tetap, maka refinery margin akan menjadi besar. Begitu juga sebaliknya. Kalau harga crude yang diperoleh mahal sementara harga BBM turun atau tetap maka refinery margin akan menjadi kecil.

“Ibarat restoran Padang, kalau daging sapi dibeli murah kemudian dimasak jadi rendang maka ada keuntungan. Beda harga antara daging sapi dan rendang ini yang dinamakan margin restoran,” katanya.

“Secara logika, harga produk kilang akan lebih mahal daripada harga crude. Analoginya harga rendang lebih mahal daripada harga daging sapi. Dari data yang kami pelajari, rata-rata refinery margin tahun 2015-2020 adalah sekitar US$ 4.25/bbl dengan margin tertinggi di angka US$ 8.0/bbl dan terendah di angka negatif. Margin negatif apa artinya? Kapan pernah terjadi?,” sambung Arcandra.

Margin negatif artinya harga produk yang dijual lebih murah daripada harga crude. Atau harga rendang per kg lebih murah daripada harga daging sapi.

Menurut Arcandra, hal ini pernah terjadi sekitar bulan Mei 2020 ketika virus COVID-19 meluas ke berbagai negara di dunia. Saat itu terjadi anomali terhadap permintaan minyak dunia.

Untuk menganalisa lebih dalam tentang margin negatif mari kita belajar sejenak tentang cracking spread. Definisi cracking spread sama seperti refinery margin. Bedanya, cracking spread dihitung berdasarkan komitmen (spekulasi) harga crude dan harga produk (BBM, dll) di masa depan. Misalnya membeli crude sekarang tapi delivery-nya 3 bulan lagi atau membeli BBM sekarang (Pertamax dan diesel misalnya) tapi delivery-nya 2 bulan lagi.

“Selisih antara harga crude dan harga BBM berdasarkan delivery di masa depan yang dinamakan dengan cracking spread. Sementara refinery margin dihitung berdasarkan harga perolehan crude saat terjadinya delivery dan harga jual BBM saat dijual ke retail. (Maaf jika penjelasan kami sedikit kompleks), tuturnya.

Ia mengungkapkan, karena crude yang diperdagangkan dimasa depan dihasilkan oleh perusahaan minyak yang berbeda, oleh trader yang berbeda dan jenis minyak yang berbeda, maka harga spekulasinya jadi berbeda juga.

Begitu juga dengan harga BBM. Dihasilkan oleh kilang yang berbeda, trader yang berbeda dan di pasar yang berbeda, maka harga masa depannya juga jadi bervariasi. Akibatnya harga crude dan BBM masa depan tidak selalu sinkron.

Analoginya, harga daging sapi beragam karena jenis sapinya, dimana diternak dan dimana dijualnya. Harga rendang juga punya pasar tersendiri tergantung restoran mana yang menjual, kelezatannya dan lokasinya. Rendang di Jakarta akan beda harga dengan rendang di Padang.

Ketidaksinkronan harga crude dan BBM terjadi sekitar bulan Mei 2020 yang mengakibat harga BBM lebih murah dari harga crude atau refinery margin menjadi negatif.

“Ini seolah-olah kilang tidak mendapat upah untuk mengolah crude menjadi BBM, tapi malah membayar pihak yang minta crude nya diolah. Aneh bukan? Artinya kenapa harga rendang bisa lebih murah dari harga daging sapi?,” ujarnya.

Anomali ini tentu tidak bisa dijadikan alasan apakah perlu untuk membangun kilang atau tidak. Trader yang melakukan spekulasi terhadap harga crude dan BBM di masa depan adalah cara berdagang orang di dunia komoditi.

“Adakah ada cara berdagang yang lebih adil dari ini? Strategi apa yang harus dilakukan agar kilang bisa menguntungkan? Mohon bersabar, diskusi kita lanjutkan ke tulisan berikutnya. Insyaa Allah,” tutup Arcandra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *