OPINI: Liberation Tariff dan Ketahanan Energi: Gertakan Trump, Game Theory Vietnam, dan Taruhan Indonesia

Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com-Pengumuman “Liberation Tariff” oleh Presiden Donald Trump menandai babak baru dalam dinamika global yang sarat gejolak. Dengan memberlakukan tarif 10% atas semua impor, serta tarif tambahan yang lebih tinggi terhadap sekitar 60 negara, AS tampak sedang memainkan strategi shock and awe dalam perdagangan internasional. Indonesia tidak luput: dari tarif rata-rata 16%, kini menjadi 32%.

Yang mengejutkan, negara-negara seperti Rusia, Belarusia, dan Korea Utara justru tidak dikenai tarif tambahan. Namun, AS memberi sinyal keras bahwa negara-negara yang masih membeli minyak Rusia akan menghadapi tarif baru, kecuali Rusia setuju melakukan gencatan senjata di Ukraina. Jelas, kebijakan ini tidak semata soal defisit perdagangan. Ia sarat nuansa geopolitik dan, tak kalah penting, berpotensi mengguncang ketahanan energi negara-negara berkembang.

Vietnam dan Strategi Game Theory: Infinite Game yang Menang

Dalam menghadapi ancaman Trump, Vietnam menunjukkan respons yang mencerminkan kecerdasan strategi tingkat tinggi. Perdana Menteri Vietnam segera menurunkan bea impor barang dari AS menjadi nol persen. Ini bukan sekadar sinyal diplomasi dagang, melainkan upaya menjaga stabilitas iklim investasi domestik. Tidak ada capital outflow, tidak ada kepanikan di pasar.

Vietnam seakan mengulang sejarah. Dalam Perang Vietnam, meskipun kalah di hampir semua pertempuran fisik, Vietnam Utara berhasil menekuk AS. Kuncinya adalah perbedaan strategi: AS bermain finite game—menang atau kalah dalam waktu terbatas. Vietnam, sebaliknya, memainkan infinite game—bertahan, bersabar, dan menjaga keberlanjutan. Hasil akhirnya: AS mundur, Vietnam menang.

Keberhasilan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Kepemimpinan Vietnam setelah perang berhasil mengkapitalisasi narasi kemenangan atas kekuatan adidaya sebagai sumber legitimasi politik dan kebanggaan nasional. Mereka memadukannya dengan reformasi ekonomi (Đổi Mới) sejak 1986, yang membuka pintu investasi asing, memperkuat sektor ekspor, dan menjadikan Vietnam sebagai pusat manufaktur dunia yang baru. Hasilnya, pada saat Amerika kembali sebagai mitra strategis, Vietnam sudah dalam posisi tawar yang kuat: bukan sebagai korban masa lalu, tapi sebagai mitra masa depan.

Pendekatan ini kembali terbukti efektif dalam diplomasi ekonomi. Vietnam mengamankan posisi sebagai mitra strategis AS tanpa perlu pertempuran panjang atau argumen defensif.

Respon Indonesia: Strategi Finite dan Taruhan MBG

Indonesia justru memilih pendekatan yang lebih konfrontatif dan berorientasi jangka pendek. Pemerintah mengirim utusan tingkat tinggi (setingkat Menko) ke Washington untuk melakukan lobi. Dalam narasi resmi, Indonesia merasa perlakuan AS tidak adil. Pemerintah menyampaikan bahwa posisi Indonesia itu strategis, sehingga tidak layak dimasukkan dalam daftar “Dirty Countries”.

Namun kenyataannya, posisi diplomatik kita sedang rapuh. Sudah dua tahun lebih, kursi Duta Besar RI untuk AS kosong. Hingga kini, Indonesia belum berhasil memperoleh sinyal akan dapat letter of credence dari Washington. Bagaimana bisa kita bicara sebagai mitra strategis bila perwakilan diplomatik pun tak tersedia?

Indonesia juga menekankan pentingnya “kedaulatan ekonomi” dalam menghadapi tekanan AS. Namun dalam praktiknya, struktur ekonomi kita masih sangat rentan. Ketahanan pangan dan energi masih sangat tergantung pada impor.

Program makan bergizi (MBG), yang menjadi andalan Presiden terpilih Prabowo dalam Nawacita baru, sangat membutuhkan stabilitas pasokan dan harga pangan. Sayangnya, sebagian besar bahan pangan pokok seperti kedelai, gandum, daging sapi, gula, hingga beras masih diimpor. Ketika ketegangan perdagangan global menyebabkan lonjakan harga pangan, maka program MBG pun ikut terancam.

Menurut data BPS dan Kementerian Pertanian:

• Kedelai: Sekitar 90% kebutuhan nasional diimpor, terutama dari Amerika Serikat dan Kanada.

• Gandum: 100% impor, dengan sumber utama dari Australia, Kanada, dan Ukraina.

• Daging sapi: Sekitar 40–50% konsumsi nasional berasal dari impor, terutama dari Australia, Brasil, dan India.

• Gula konsumsi: Impor mencapai 30–40%, dengan pemasok utama Thailand dan India.

• Bawang putih: Sekitar 95% kebutuhan nasional diimpor dari Tiongkok.

• Beras: Meskipun ada klaim swasembada, pada 2023 Indonesia tetap mengimpor lebih dari 2 juta ton, terutama dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Strategi penyediaan pangan nasional harus berpacu dengan dinamika global yang tidak menentu. Ketergantungan ini menjadi titik rawan yang harus segera diantisipasi.

Taruhan Ketahanan Energi dalam Bayang-Bayang Tarif

APBN 2025 telah menetapkan lifting minyak sebesar 625.000 barel per hari, dengan asumsi harga crude sekitar USD 82 per barel. Namun kenyataannya, produksi migas kita terus menurun, sementara konsumsi justru meningkat. Ketergantungan terhadap impor BBM dan LPG menjadi titik lemah utama.

Hingga tahun 2024, lebih dari 70% konsumsi LPG Indonesia berasal dari impor, dengan volume mencapai 6,8 juta metrik ton per tahun, mayoritas dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Sementara itu, untuk minyak mentah, Indonesia masih mengimpor sekitar 100–150 ribu barel per hari dari negara seperti Nigeria, Irak, dan Arab Saudi. Ketergantungan ini makin parah pada produk hasil kilang (BBM) karena kapasitas kilang dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan domestik—sekitar 45% konsumsi BBM nasional masih diimpor, terutama jenis gasoline dan diesel.

Menurut laporan IEA (2023) dan data ESDM, ketergantungan energi Indonesia terhadap impor makin membebani neraca transaksi berjalan dan berisiko tinggi terhadap tekanan eksternal.

Jika AS menerapkan tarif tambahan terhadap komoditas energi yang kita impor secara tidak langsung—seperti LPG dari produsen yang menggunakan armada berbendera AS atau peralatan berbasis teknologi AS—maka Indonesia akan menghadapi lonjakan biaya energi domestik. Ini sangat berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan ketahanan energi nasional.

Skenario ini semakin kompleks bila Liberation Tariff juga memicu retaliasi global yang memperburuk rantai pasok. Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah—seperti tekstil, alas kaki, elektronik, kelapa sawit, dan perikanan—membuat kita sangat rentan terhadap fluktuasi pasar.

Diplomasi Energi dan Jalan Tengah yang Perlu Ditempuh

Alih-alih mengedepankan strategi finite, Indonesia perlu belajar dari Vietnam dan memainkan infinite game dalam diplomasi perdagangan dan energi. Diplomasi energi perlu menjadi garda depan. Indonesia bisa menawarkan kolaborasi strategis, seperti proyek transisi energi hijau atau penguatan rantai pasok regional, yang sejalan dengan agenda energi bersih global yang juga sedang digalakkan oleh AS.

Sektor energi terbarukan Indonesia, seperti geothermal, biofuel, dan hidrogen, bisa dijadikan leverage untuk negosiasi. Perlu dibentuk satuan tugas lintas kementerian yang khusus menangani dampak Liberation Tariff terhadap sektor energi dan pangan.

Selain itu, diplomasi parlementer dan pemanfaatan forum-forum internasional seperti G20, ASEAN, dan IEF (International Energy Forum) perlu dioptimalkan. Indonesia harus tampil bukan sekadar sebagai negara yang terdampak, tapi sebagai negara yang menawarkan solusi.

Penutup: Momentum untuk Berubah

Liberation Tariff adalah alarm keras bahwa dunia telah memasuki era baru geoekonomi. Gertakan Trump bukan sekadar ancaman dagang; ia adalah ujian terhadap ketahanan ekonomi dan kecerdikan diplomasi kita. Indonesia tak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif. Kita membutuhkan strategi jangka panjang yang memperkuat ketahanan energi dan pangan, membuka jalur diplomasi strategis, dan memainkan peran sebagai aktor regional yang visioner.

Pelajaran dari Vietnam jelas: dalam dunia yang terus berubah, pemenangnya bukan yang paling kuat, tetapi yang paling adaptif dan berpikir jauh ke depan.

Sampe L Purba,  Peneliti Senior pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik Strategis, Alumni PPRA Lemhannas RI

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *