Jakarta,ruangenergi.com-Menurunnya kapasitas produksi maupun cadangan energi fosil di Indonesia dari menyebabkan kondisi keenergian negara ini memasuki tahap alarm krisis. Indonesia telah menjadi net oil importer sejak tahun 2004 dan diproyeksikan menjadi net gas importer tahun 2028 serta suatu keniscayaan energi fosil merupakan energi dengan penghasil emisi CO2 terbesar dari energi lainnya.
Hal ini mengharuskan Indonesia untuk memitigasi krisis tersebut dengan program bauran energi. Pemerintah (c.q Kementerian ESDM) telah menetapkan bauran EBT 23% pada tahun 2025 melalui Perpres Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) No.22/2017. Tak terkecuali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Di tahun 2030, Pemerintah juga mencanangkan program energi nuklir melalui PLTN dalam bauran energi tanah air.
Direktur Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi Dr.Ir.Adiarso, M.Sc pada diskusi panel Energy Week 2021 menjelaskan bahwa, sudah saatnya negara ini tidak lagi fokus pada polemik pro kontra pembangunan PLTN, melainkan harus fokus akan kebutuhan (supply and demand) dan implementasi energi nuklir dalam hal men-eskalasi kapasitas energi nasional agar tidak hanya bergantung pada energi fosil. Oleh karena itu, perlu upaya penggunaan energi baru terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan seperti energi nuklir.
Adiarso juga menjelaskan bahwa butuh extra ordinary effort untuk mewujudkan program bauran energi 23% serta menjadikan nuklir menjadi opsi yang baik bukan malah menjadi opsi terakhir. Hal senada juga disampaikan Dr. Ir. Arnold Soestrisnanto pada panel diskusi Energy Week hari ke-4, dimana Indonesia sudah saatnya menggenjot pembangunan nuklir dikarenakan 90% energi nuklir itu stabil, big serta bersih.
Menurut Arnold yang juga selaku Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), permasalahan masih stagnannya progress PLTN di negara ini bukan disebabkan oleh faktor teknis maupun regulasi apalagi untuk Small Modular Reactor (SMR). Melainkan, karena faktor sosial politis. Ia berharap agar pemerintah segera me-launching go nuclear ditambah adanya simplifikasi (penyederhanaan) perizinan. dikarenakan jika perizinan lama, maka investasi PLTNpun akan mandek.
Sejauh ini hambatan yang menyebabkan mandeknya pembangunan PLTN di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor baik teknis maupun non teknis seperti ketidakterimaan masyarakat pada PLTN, isu bahayanya PLTN, maupun ketidakjelasan pemerintah yang saat ini masih belum berani go nuclear.
Pada diskusi panel kali ini juga mengundang Kepala P2STPIBN BAPETEN dalam hal ini Dr. Yudi Pramono. Yudi memandang bahwa pemerintah sudah menyiapkan regulasi terhadap PLTN. Bahkan progress nya positif dimana dari 19 item regulasi PLTN, 16 item tidak ada masalah.
Lain hal pula Menurut Dr. Susilo Widodo selaku Ketua umum Himpunan Nuklir Indonesia (HIMNI), berdasarkan pengamatan dari HIMNI, sikap pemerintah Indonesia dalam urgensi pembangunan PLTN masih ngambang padahal dari perspektif jajak pendapat masyarakat mengenai PLTN ini sudah mulai positif dengan persentase 77,53 % Menerima dan 22,47 % menolak walaupun masih bersifat dinamis dan sporadis.
Diskusi panel mengenai peran PLTN dalam bauran energi nasional ini diselenggarakan agar dapat ditemukan jalan keluar maupun benang merah agar permasalahan-permasalahan yang masih terjadi pada wacana pembangunan PLTN di negara ini bisa segera terselesaikan.
Butuh kerjasama dari berbagai pihak yang terkait serta elemen masyarakat agar pembangunan PLTN di Indonesia bisa segera terealisasi dengan konkret serta Indonesia siap dalam menghadapi era disruptif dan transformatif energi saat ini maupun akan datang.