Cahaya pagi perlahan merayap di langit lepas pantai Tuban, memberi sinyal bagi Afifah Mutmainnah untuk mengawali hari yang baru. Menjadi satu-satunya perempuan yang bertugas sebagai Cargo Field Operator di salah satu terminal migas tersibuk di Indonesia, Kapal Alir Muat Terapung atau Floating Storage and Offloading (FSO) Gagak Rimang, harinya telah dimulai. FSO Gagak Rimang dapat melakukan hingga sepuluh kegiatan pengapalan minyak mentah dalam satu bulan yang berasal dari Blok Cepu.
Selepas menunaikan ibadah dan sarapan, Afifah memulai tugasnya di ruang kendali pusat. Di tempat ini, Afifah memantau keluar masuknya muatan di kapal tanker, memastikan semua kapal berada dalam posisi yang aman.
“Mungkin banyak yang berpendapat bahwa pekerjaan saya adalah pekerjaan yang unik bagi seorang perempuan, namun saya sangat menyenangi apa yang saya lakukan,” tukas Afifah Mutmainnah.
Afifah adalah bagian dari operasi hulu migas ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) di Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, yang melibatkan putra-putri terbaik negeri ini. Lebih dari 99 persen tenaga kerja di kegiatan operasi Blok Cepu adalah warga negara Indonesia dengan kemampuan kelas dunia.
Semua orang memberikan kontribusi terbaik mereka, termasuk untuk proses pengapalan. Sejak pengapalan perdana pada tahun 2015, EMCL mencatat pencapaian pada tahun 2023 dengan melakukan pengapalan yang ke-900 di FSO Gagak Rimang. Pencapaian ini menegaskan masih pentingnya industri hulu migas untuk terus mendukung pertumbuhan Indonesia.
“ExxonMobil bersama para mitra telah memproduksi lebih dari 600 juta barel minyak dari Blok Cepu yang membantu memenuhi kebutuhan energi nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi”, ucap Carole Gall, Presiden ExxonMobil Indonesia.
Sebagai salah satu tonggak dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia, produksi Blok Cepu berkontribusi sekitar 25% dari produksi minyak nasional.
Tonggak Produksi Minyak Tanah Air
Seluruh pencapaian ini tak mungkin terwujud tanpa kerja keras banyak pihak. Pada masa pengembangan, EMCL menandatangani kontrak Rekayasa Perencanaan, Pengadaan, dan Konstruksi (EPC) dengan lima konsorsium yang semuanya dipimpin oleh perusahaan Indonesia. Bahkan, pada saat tahap konstruksi puncak, proyek Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu melibatkan sekitar 17.000 talenta terbaik bangsa.
Setiap hari, minyak mentah diproses di Fasilitas Pengolahan Pusat di Lapangan Banyu Urip. Kemudian, minyak dialirkan melalui pipa sepanjang 72 kilometer ke pesisir Tuban. Dari sana, minyak kembali dialirkan melalui pipa bawah laut sepanjang 23 kilometer menuju FSO Gagak Rimang sebelum diangkut menggunakan kapal-kapal tanker.
Hingga saat ini, Lapangan Banyu Urip telah mencapai produksi kumulatif sebanyak 600 juta barel minyak, melampaui target rencana awal 450 juta barel minyak pada tahun 2006.
Berdasarkan evaluasi teknis, jumlah cadangan minyak di Blok Cepu saat ini diperkirakan sekitar 1 miliar barel, meningkat lebih dari dua kali lipat dari perkiraan cadangan awal sebesar 450 juta barel. Dengan produksi ini, maka Blok Cepu berpeluang menyumbang pendapatan negara hingga 13,3 kali lipat investasi awal.
Statistik ini menegaskan peran Blok Cepu sebagai tonggak dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia, dengan kontribusi sekitar 25 persen dari produksi minyak nasional. Semua dilakukan melalui proses operasi produksi yang aman, andal, dan efisien. Ini adalah komitmen ExxonMobil Cepu Limited sebagai operator beserta para mitra untuk terus melaju untuk Indonesia maju.
Menapaki Masa Depan Rendah Karbon
Secara global, permintaan energi diperkirakan akan meningkat sekitar 15 persen hingga tahun 2050. Mulai dari industri skala besar, transportasi, rumah tangga, hingga kebutuhan listrik. Sektor migas dapat memenuhi sekitar 55 persen dari peningkatan tersebut, menandakan peran sentral sektor migas dalam lanskap kebutuhan energi global.
Namun, pertumbuhan ini juga berdampak pada peningkatan emisi energi. Hal ini menghadirkan tantangan ganda: Bagaimana memenuhi kebutuhan energi sembari memitigasi risiko perubahan iklim?
Dalam menjawab tantangan ganda ini, ExxonMobil mengembangkan teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini menjadi salah satu langkah menjanjikan untuk mencapai target mengurangi satu miliar ton karbon dioksida dari atmosfer bumi pada tahun 2025, seperti Perjanjian Perubahan Iklim Paris.
Mengapa CCS?
Laporan International Energy Agency pada September 2020 lalu menyatakan bahwa teknologi CCS merupakan teknologi yang dapat berkontribusi pada pengurangan emisi secara langsung pada sektor-sektor utama sekaligus menyeimbangkan emisi yang sulit dihindari.
Secara teknis, CCS mampu menghilangkan sekitar 90 persen emisi CO₂ dari aktivitas industri agar tidak terlepas ke atmosfer. CO₂ akan disimpan secara aman dan permanen di bawah lapisan bumi.
CCS adalah proses penangkapan CO₂ dari aktivitas industri yang biasanya dilepaskan ke atmosfer, kemudian menginjeksikannya ke dalam formasi geologi yang aman dan bersifat permanen di bawah tanah. Teknologi ini dapat membantu mendekarbonisasikan sektor padat emisi seperti manufaktur dan pembangkit listrik dengan kemampuan menangkap sekitar 90 persen emisi CO₂ dari aktivitas industri. ExxonMobil telah memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun dalam mengembangkan teknologi ini.
Menjawab tantangan transisi energi, teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) memiliki potensi untuk mengurangi emisi industri yang sulit didekarbonisasi.
Melangkah Bersama Menuju Transisi Energi
Berkolaborasi dengan Pertamina, ExxonMobil telah menandatangani beberapa perjanjian menuju masa depan rendah karbon Indonesia. Semuanya dimulai dengan nota kesepahaman saat Konferensi COP26 di Glasgow, diikuti dengan Joint Study Agreement untuk menjajaki kemungkinan implementasi teknologi rendah karbon.
Kemudian pada tahun 2022, dalam rangkaian KTT G20 di Bali, ExxonMobil dan Pertamina juga menyepakati Head of Agreement terkait rencana pengembangan CCS Hub regional untuk menyimpan CO₂.
“Kolaborasi dengan Pertamina dan pemerintah menempatkan Indonesia di jalur yang tepat. Tidak hanya menyediakan solusi berkelanjutan, tetapi juga menjadi Indonesia sebagai pelopor di tingkat regional dalam industri CCS,” ujar Hariadi Budiman, Kepala Perwakilan Esso Indonesia Inc., salah satu anak perusahaan ExxonMobil di Indonesia yang berfokus pada solusi rendah karbon.
Menanggapi transisi energi adalah tantangan global. Tidak ada satu negara pun yang dapat menghadapinya sendirian. Inilah sebabnya mengapa mengayunkan langkah menuju transisi energi memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari negara, pembuat kebijakan, pelaku industri, hingga konsumen – semuanya memiliki peran masing-masing.
Dengan kolaborasi bersama ini, kita dapat terus maju dan menghadapi tantangan transisi energi dengan lebih baik. Kolaborasi menjadi kunci untuk terus bergerak maju demi mewujudkan Indonesia yang lebih maju.