Tekan Emisi Karbon, Menko Marves: Presiden Jokowi Instruksikan Tegas Untuk Segera Bertransisi Energi

Jakarta, Ruangenergi.comMenteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan, pemerintah Indonesia pada dasarnya akan selalu berkomitmen dan berusaha yang terbaik untuk mencegah kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celcius.

Untuk itu, katanya, Indonesia perlu melakukan beberapa langkah untuk mempercepat upaya peralihan dan pengembangan energi terbarukan pada 2050, diantaranya adalah dengan menyelaraskan regulasi dan kebijakan serta mendorong investasi energi terbarukan.

Dalam sebuah diskusi, Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Luhut menekankan bahwa instruksi Presiden Jokowi secara tegas meminta untuk segera bertransisi energi, bahkan saat ini pemerintah sedang menyusun mekanisme transisi energi (energy transition mechanism) terutama untuk PLTU batubara Indonesia

“Dukungan pendanaan (financial support)  sangat penting untuk mendukung transisi ke energi terbarukan. Perlu bantuan dari negara maju untuk mencapai netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Saat ini, peralihan coal (batubara) ke energi terbarukan sedang berjalan. PLTU batubara ada yang harus diberhentikan dan sedang disusun dengan PLN. Kita optimis bisa lebih cepat karena teknologi juga semakin berkembang jadi bisa lebih efisien,” katanya.

Ia menerangkan, di Indonesia sendiri, pemerintah menargetkan kawasan pariwisata, khususnya Danau Toba dan Bali yang akan netral karbon pada tahun 2045 atau momen 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

“Danau Toba bisa karena ada geothermal 1.000 Megawatt (MW) dan banyak hydropower, sehingga semua kehidupan di sana tidak perlu lagi memakai energi fosil.  Begitu pula dengan Bali,” paparnya.

Baginya, perubahan tersebut mutlak terjadi bahkan dalam enam tahun ke depan. Sebab, saat ini semua industri yang bernilai hampir US$ 100 miliar pun pembangunannya sudah mulai menggunakan energi terbarukan.

“Kita punya potensi yang luar biasa untuk energi terbarukan. Pada 2050 Eropa canangkan tidak mau pakai barang yang dari fosil energi. Kita punya barang-barang dari renewable energy atau green product. PLN juga harus ikut dan berbenah,” bebernya.

Sementara, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Mardiana, mengatakan bahwa Bappenas sudah menyusun beberapa kajian Net Zero Emission. Kajian itu berisi pertimbangan sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan pendanaan untuk bisa mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.

“Tentunya untuk itu kita juga perlu melihat upaya mengurangi ketergantungan batubara melalui beberapa upaya. Misalnya melihat perkembangan teknologi ke depan, potensi energi hidrogen untuk mencukupi kebutuhan transportasi, industri, pembangkit tenaga listrik,” jelas Rachmat

Selesaikan RUPTL
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengungkapkan transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” jelas Dadan.

Selain itu, integrasi energi terbarukan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik. Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, kondisi oversupply bisa diatasi bersamaan dengan upaya dekarbonisasi mendalam di sektor industri dan bisnis.

“Solusinya aksi mitigasi bisa dilakukan dengan substitusi energi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke penggunaan listrik. Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” imbuh Fabby.

Fabby Menegaskan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23% bauran energi terbarukan hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp 210 triliun.

Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, lanjutnya, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar per tahun, atau sekitar Rp 420 triliun per tahun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan teknologi rendah karbon di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

“Investasi itu juga mencakup pengembangan green hidrogen, serta bahan bakar sintetik untuk sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi, seperti pesawat dan kapal,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *