Limbah Slag Nikel

APNI Harap Pemerintah Evaluasi Ulang Implementasi Royalti Baru, Usulkan Revisi Formula HPM sebagai Solusi

Jakarta, ruangenergi.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan keprihatinan atas diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Royalti Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang ditandatangani Presiden pada 11 April 2025 dan akan mulai berlaku efektif 15 hari sejak pengundangan.

Kebijakan ini dinilai tidak tepat waktu, mengingat harga nikel global tengah mengalami penurunan tajam akibat ketegangan geopolitik dan eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Peningkatan tarif royalti di tengah ketidakpastian ekonomi global dikhawatirkan akan menambah tekanan terhadap industri nikel nasional, baik di hulu maupun hilir, serta berpotensi mengurangi daya saing dan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional.

Dasar Keberatan APNI

  1. Tarif Royalti Tidak Realistis dan Progresif
    • Kenaikan tarif royalti bijih nikel (14–19%) dan produk olahan (FeNi/NPI 5–7%) dianggap tidak memperhitungkan kondisi riil industri.
    • Harga nikel global terus menurun, sementara biaya operasional meningkat (biosolar B40, UMR naik 6,5%, PPN 12%, kewajiban DHE ekspor 100%).
    • Investasi smelter sangat padat modal dengan biaya pembangunan mencapai US$1,5–2 miliar per smelter.
    • Kenaikan royalti berisiko menekan margin produksi dan menurunkan penerimaan negara jika produk tidak dapat dijual karena tidak kompetitif.
  2. Akumulasi Beban Kewajiban Sektor Tambang
    • Industri tambang menanggung 13 kewajiban signifikan, mulai dari pajak (PPN 12%, PBB, PNBP) hingga kewajiban non-fiskal seperti reklamasi dan rehabilitasi DAS.
  3. Dampak terhadap Investasi dan Daya Saing
    • Kenaikan royalti berpotensi menghambat investasi, menurunkan daya saing global, serta memicu PHK massal, terutama di sektor hilir.
  4. Pengaruh terhadap Cadangan Mineral
    • Tarif royalti yang tinggi mendorong peningkatan cut-off grade, yang berdampak pada penurunan volume cadangan dan potensi produksi jangka panjang.

APNI menegaskan bahwa sektor minerba merupakan salah satu penyumbang utama Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dengan kontribusi sebesar Rp140,5 triliun atau 52,1% dari total PNBP ESDM pada tahun lalu. Dalam situasi global yang menantang, industri ini seharusnya diperkuat, bukan dibebani.

Usulan Revisi Formula HPM

Sebagai solusi konkret, APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) untuk bijih nikel, ferronickel, dan nickel pig iron (NPI). Formula saat ini dinilai terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market (SMM), dan berpotensi menyebabkan kerugian pasar hingga US$6,3 miliar dalam dua tahun terakhir.

APNI mengusulkan:

  • Memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit.
  • Penyesuaian formula HPM yang dapat meningkatkan nilai hingga lebih dari 100% tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.

Dampak Positif dari Revisi HPM

  • Peningkatan penerimaan negara tanpa menaikkan tarif royalti.
  • Margin usaha lebih baik untuk eksplorasi dan pengelolaan lingkungan.
  • Penurunan cut-off grade yang meningkatkan cadangan.
  • Nilai ekspor produk hilir meningkat.
  • Insentif bagi pengembangan teknologi ekstraksi dan hilirisasi mineral ikutan.

APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor (CF) HPM ferronickel dan penyesuaian satuan transaksi dari USD/DMT menjadi USD/ton nikel murni atau USD/nickel unit sesuai praktik internasional.

Ajakan untuk Dialog dan Kolaborasi

APNI tetap berkomitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan berharap kebijakan fiskal sektor minerba diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan.

APNI menghargai pelibatan dalam berbagai forum strategis, termasuk:

  • Rapat bersama KADIN, IMA, dan ASPABI pada 16 April 2025 terkait percepatan hilirisasi komoditas strategis.
  • Undangan dari Ditjen Minerba ESDM pada 17 April 2025 untuk membahas revisi PP Nomor 26 Tahun 2022 mengenai mekanisme penjualan dan penilaian nilai mineral.

APNI berharap pemerintah membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi PP No. 19 Tahun 2025 dapat dilakukan secara adaptif dan kolaboratif, demi keberlanjutan industri dan peningkatan kontribusi terhadap perekonomian nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *