Jakarta, ruangenergi.com – Indonesia memiliki sejarah panjang dalam kerja sama di bidang energi, khususnya minyak dan gas (migas), dengan berbagai negara besar di dunia, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda.
Perusahaan-perusahaan terkenal dalam industri perminyakan dunia, yang sering disebut sebagai “Seven Sisters”, datang dengan membawa impian dan semangat untuk mencari, mengolah, dan memproduksi migas di Indonesia.
Istilah “Seven Sisters” digunakan untuk merujuk pada tujuh perusahaan minyak besar yang mendominasi industri minyak global pada pertengahan abad ke-20, sebelum terbentuknya OPEC. Istilah ini merujuk pada perusahaan, bukan negara.
Mengutip situs web ESDM, sebutan “The Seven Sisters” pertama kali diperkenalkan oleh pengusaha asal Italia, Enrico Mattei. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam “The Seven Sisters” adalah: Exxon, Royal Dutch/Shell, British Petroleum (BP), Mobil, Chevron, Gulf Oil, dan Texaco.
Dalam buku berjudul Manajemen dan Ekonomi Migas, almarhum Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, menuliskan: “Dengan menguasai produksi, pengolahan, dan distribusi minyak mentah, ketujuh perusahaan tersebut berhasil meraih keuntungan yang sangat besar ketika terjadi peningkatan konsumsi minyak dunia. Untuk melindungi kepentingan nasional, negara-negara berkembang kemudian mendirikan perusahaan minyak nasional dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada perusahaan multinasional dalam hal pasokan migas.”
Lahirnya perusahaan minyak nasional juga memberikan pengetahuan tentang industri perminyakan yang bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan pemerintah untuk menilai kinerja perusahaan multinasional di negaranya.
Pada awal 1960-an, Timur Tengah mulai mengambil alih kontrol perminyakan dunia melalui Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Awalnya, OPEC didirikan sebagai bentuk protes terhadap upaya “The Seven Sisters” untuk menurunkan harga minyak, yang sangat merugikan negara-negara produsen. Pada akhirnya, OPEC berhasil menguasai produksi, pengolahan, dan distribusi minyak pada tahun 1970-an.
Pamor “The Seven Sisters” mulai meredup. Seiring dengan merger beberapa perusahaan, pada tahun 2005 yang tersisa dari “The Seven Sisters” adalah ExxonMobil, Chevron, Shell, dan BP.
Pada 11 Maret 2007, Financial Times menyebutkan bahwa telah muncul kelompok baru yang disebut “The New Seven Sisters”, yang terdiri dari: Saudi ARAMCO (Arab Saudi), GAZPROM (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brasil), dan Petronas (Malaysia).
Sudah menjadi bagian dari sejarah industri perminyakan bahwa “Seven Sisters” pernah berjaya, mendominasi pasar minyak dunia, termasuk di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar ini membawa teknologi, modal, dan sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk eksplorasi dan produksi minyak. Namun, dengan berkembangnya kesadaran akan kedaulatan energi dan berdirinya perusahaan minyak nasional, dominasi mereka mulai memudar.
Kini, pertanyaan yang muncul adalah: akankah kita melihat era baru di mana perusahaan-perusahaan besar kembali merajai industri minyak Indonesia?
Seperti halnya “The New Seven Sisters” yang kini terdiri dari perusahaan-perusahaan minyak negara, peluang terbuka lebar bagi Indonesia untuk menarik kembali investasi besar. Namun, di tengah perubahan geopolitik dan pergeseran menuju energi terbarukan, Indonesia harus menyiapkan strategi yang tepat agar bisa memanfaatkan peluang ini tanpa kehilangan kedaulatan energi.
Tantangan bagi pemerintahan mendatang, setelah berakhirnya Kabinet Joko Widodo di bulan Oktober 2024 ini dan digantikan oleh Kabinet Prabowo Subianto, adalah bagaimana menarik investor migas untuk datang dan mencari ’emas hitam’ di negeri ini. Wow!
Godang Sitompul, Pemimpin Redaksi