PLTU Co-Firing

IESR: Indonesia Perlu Antisipasi Potensi Risiko Aset Terdampar di Sektor Batubara

Jakarta, Ruangenergi.com Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat semakin kesini semakin tinggi komitmen negara-negara di dunia terhadap pencapaian netral karbon, yakni dengan melakukan transisi energi menuju energi bersih, dan hal ini tentunya akan mempengaruhi permintaan batubara.

IESR memandang, apabila produksi batubara menurun maka dapat mempengaruhi sektor ekonomi dan keuangan Indonesia sebagai salah satu penghasil batubara terbesar di dunia. Untuk itu, Salah satu risiko yang perlu dimitigasi adalah semakin tingginya potensi aset terdampar (stranded assets) pada pertambangan batubara dan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, mengatakan, komitmen negara maju sudah terlihat seperti Jerman yang akan melakukan penghentian penggunaan batubara sebelum tahun 2038.

Tidak hanya itu, katanya, negara-negara yang menjadi sumber pendanaan batubara seperti Korea dan Jepang juga telah mengumumkan akan menghentikan pendanaan mereka di luar negeri untuk proyek batubara.

Ia mengungkapkan, secara khusus, Jepang menyatakan tidak akan mendanai PLTU yang tidak memiliki teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Jepang bahkan berencana untuk mendorong dekarbonisasi sistem energi di Asia Tenggara dengan mengembangkan inovasi dan teknologi terutama hidrogen dan amonia.

“Adalah penting untuk memastikan berjalannya komitmen penghentian pembiayaan batubara di luar negeri dari Korea, Jepang dan negara maju lainnya. Selanjutnya, perlu juga menekankan agar investasi dari negara maju harus beralih ke pembangunan energi terbarukan,” kata Fabby, dalam keterangannya, (27/08).

Ia menambahkan, investasi dari luar negeri akan berperan signifikan dalam pembangunan jaringan modern energi terbarukan dan mengatasi risiko ekonomi dan sosial dari transisi energi.

“Upaya diversifikasi ekonomi sebagai bagian dari mitigasi risiko transisi energi harus segera disiapkan,” terangnya Fabby.

Untuk itu, IESR memandang agar Indonesia segera memberikan sinyal yang jelas dalam melaksanakan kebijakan perubahan iklim, seperti penetapan emission peak, strategi phase out PLTU, dan pelaksanaan instrumen nilai ekonomi karbon.

Managing Director, Solutions for Our Climate (SFOC), Joojin Kim, mengatakan, saat ini regulasi Indonesia masih kuat mendukung batubara sehingga menimbulkan kesulitan bagi investor asing untuk menyalurkan investasi yang mendukung sektor hijau.

Menurutnya, bergesernya investasi menuju energi terbarukan yang dilakukan oleh negara maju akan mempengaruhi sektor ekonomi dan keuangan di negara berkembang, seperti Indonesia.

“Mengenai potensi risiko tersebut telah disampaikan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Salah satu dampak finansial dari transisi energi adalah aset terdampar, di
mana aset sektor batubara mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan,” ungkap Joojin Kim.

Sementara, menurut penulis kajian Coal as Stranded Assets : Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector, Hadi Prasojo, mengatakan, kapasitas PLTU yang terus meningkat di Indonesia akan berpotensi menghasilkan aset terdampar.

Dalam kajian yang dilakukan IESR, mengestimasikan nilai aset terdampar PLTU Indonesia sebesar US$ 26 miliar untuk mencapai bebas emisi 2050. Sementara strategi pemerintah untuk tetap mengembangkan industri hilir batubara akan semakin menambah potensi aset terdampar di masa depan.

Terutama, karena kelayakan ekonomi dari proyek hilirisasi tersebut masih diragukan dengan perlunya berbagai insentif dari pemerintah. Industri hulu atau pertambangan batubara juga berpotensi menjadi stranded assets sebab cadangan batubara tidak bisa digali terus menerus serta harus tetap berada
di bawah permukaan bumi.

Agar risiko aset terdampar di industri batubara tidak mengancam stabilitas keuangan nasional, pemerintah perlu segera mengeluarkan beberapa kebijakan seperti dukungan terhadap proyek hijau dan melibatkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG) dalam kriteria kelayakan aset.

Sebagaimana diketahui, IESR berkolaborasi dengan Climate Transparency – kemitraan internasional dari think tank di beberapa negara G20, dan dengan didukung oleh Kementerian Luar Negeri Jerman telah mengadakan seminar daring selama dua hari bertema “Aligning International Energy Finance toward the Net-Zero Economy” pada 25-26 Agustus 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *