Ini Faktor Yang Mendorong IOC di Eropa Alihkan Bisnis Ke Energi Terbarukan

Jakarta, Ruangenergi.com –  Secara bisnis margin dari ET (Energi Terbarukan) ini jauh lebih rendah daripada migas (Minyak dan Gas bumi), hal tersebut disampaikan oleh Komisaris Utama PT PGN Tbk, Arcandra Tahar.

“Melanjutkan materi sebelumnya terkait tren bisnis ET di dunia, kali ini kita bahas beberapa aspek yang mendorong banyak International Oil Company (IOC) di Eropa mulai beralih ke bisnis ET,” ungkap Arcandra.

Ia menambahkan, sebuah study di Amerika menyimpulkan bahwa cost of capital untuk bisnis migas berada di sekitar 7%, sementara untuk perusahaan utility dan power disekitar 4% (ET).

Ia menegaskan, selain cost of capital yang tinggi, perusahaan migas berharap Return On Investment (ROI) mereka sekitar 3.9% diatas cost of capital, sementara perusahaan utility dan power bisa menerima ROI sekitar 2.3% diatas cost of capital mereka.

“Sekarang kita bahas satu per satu faktor yang mendorong IOC Eropa mulai beralih ke bisnis ET,” paparnya.

Pertama, saat ini cadangan migas besar dan memungkinkan untuk dikembangkan secara efisien berada di negara  yang semakin maju dalam pengelolaan dan pengembangan migas. Seperti di Timur Tengah, Venezuela, Libya, Rusia dan Iran.

Dinegara-negara tersebut IOC sulit untuk masuk karena industri migas dikuasai oleh National Oil company di negara masing masing.

“Semangat untuk mengembangkan sumber daya alam secara mandiri dan sistem politik yang dipakai, menjadi tantangan yang tidak mudah bagi IOC Eropa seperti Shell, Total, BP, Equanor, dan lain-lain, ” bebernya.

Kedua, pendanaan untuk eksplorasi dan produksi migas semakin sulit dibandingkan dengan ET.

“Jika ada lembaga keuangan yang mendanai proyek migas, mereka akan mengenakan biaya yang tinggi. Ini sejalan dengan risiko bisnis migas yang juga terus meningkat,” katanya.

Ketiga, terkait dengan carbon tax, Arcandra menjelaskan, di Eropa setiap produksi karbon dikenakan pajak antara EURO 1/ton dan EURO 100/ton.

“Besaran pajak yang harus dibayar perusahaan migas ini akan sangat memberatkan. Apalagi dengan risiko bisnis migas yang sangat tinggi,” tuturnya.

Keempat, dengan level harga minyak saat ini dan prediksi ke depan, banyak proyek migas tidak lagi menguntungkan. Artinya risiko bisnis yang makin lama makin tinggi mengakibatkan financial risk juga naik.

“Selama tahun tahun 2020 misalnya, Shell melakukan writedown asetnya sekitar $22 miliar, sementara Exxonmobil $20 miliar,” ungkapnya kembali.

Kelima, adanya kebutuhan dari negara negara yg selama ini sangat bergantung dari impor minyak seperti China, Jepang dan India untuk lebih independence dari sisi energi. Negara dengan populasi besar itu mulai banyak berinvestasi di ET sehingga IOC melihatnya sebagai peluang bisnis baru.

Keenam, banyak perusahaan migas di Eropa merasa khawatir terhadap sikap kritis masyarakat terhadap faktor pencemaran lingkungan yang sering ditujukan kepada mereka.

“Situasi yang bisa mendorong berbagai class action tersebut menjadi sentimen negatif bagi pelaku usaha migas. Sebelum class action terjadi, mereka secara perlahan mulai beralih ke bisnis ET,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *