Harris Yahya

Komitmen Turunkan Emisi GRK, Pemerintah Kebut Pembangunan Panas Bumi

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan NDC tahun 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan dengan bantuan internasional sebesar 41%, komitmen tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement.

Hal itu dikatakan oleh Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE, Harris Yahya, secara virtual, dalam sambutannya Webinar “Sinergi Mendukung Percepatan Panas Bumi”, yang dihelat oleh Ruangenergi.com dan disiarkan secara live di channel YouTube Ruang Energi, mewakili Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, Kamis (06/05).

“Tujuan utama dari NDC kita juga secara internasional adalah untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius dan menyusahkan untuk turun menjadi 1,5 derajat Celcius maksimal,” ungkap Harris.

Ia menambahkan, Pemerintah telah menetapkan target kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) di dalam bauran energi nasional sebesar 23% hingga 2025.

“Hingga akhir 2020 capaian bauran EBT baru sebesar 11,2%, jadi masih ada gap sekitar 10%,” paparnya.

Guna mencapai target tersebut, P
lanjut Harris, pemerintah tengah menyusun Gran strategi nasional yaitu program jangka panjang dalam pengelolaan energi dalam kurun waktu 20 tahun kedepan 2021-2040 dengan visi utama mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Harris Yahya

“Indonesia terletak di ring of fire, dan memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23,7 Gigawatt (GW) (status yang dicatat pada 2020) dan hingga saat ini pemanfaatan pembangkit listrik dari panas bumi baru mencapai 2.130 Megawatt (MW) atau sekitar 2,13 GW. Atau baru sekitar 8,9% dari total sumber daya yang bisa dimanfaatkan,” bebernya.

Upaya untuk melakukan peningkatan kapasitas terpasang dengan harga yang kompetitif tentunya dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain yakni mengoptimalkan potensi yang ada Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) eksisting.

Ia mencontohkan yakni untuk ekspansi penambahan unit PLTP dan Pembangunan PLTP Binary (small scale) dengan bersinergi antar BUMN.

Ia menambahkan, pengembangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar kurang lebih US$ 4,7 juta untuk setiap Megawatt. Selain meningkatkan investasi dalam negeri, panas bumi juga memberikan kontribusi ekonomi melalui penerimaan bukan pajak dengan capaian sebesar Rp 1,96 Triliun pada tahun 2020, dan bonus Produksi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah.

“Kontribusi ekonomi juga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar melalui
program-program community development yang memang menjadi kewajiban badan usaha pengembangan panas bumi,” imbuhnya.

Berbeda dengan pembangkit listrik lainnnya, Harris mengatakan, pengembangan panas bumi memerlukan waktu yang cukup lama serta memiliki risiko dan biaya yang cukup tinggi. Namun pemerintah berupaya untuk dapat mencapai target pengembangan panas bumi sebesar 3,2 GW pada 2025 dan 4,5 GW pada 2030.

“Rencana pengembangan ini masih terus direview melihat dinamika pertumbuhan demand yang sangat terkoreksi -2,4 (karena dampak Pandemi Covid-19). Target tersebut diharapkan tercapai apabila harga listrik dari PLTP dapat bersaing dengan Pembangkit lainnya,” urainya.

“Untuk itu, Pemerintah melakukan deregulasi harga listrik PLTP yang saat ini sedang dalam proses finalisasi, (karena sudah ada di Setneg Rancangan Perpres-nya) serta melaksanakan program pengeboran eksplorasi oleh pemerintah. Sehingga diharapkan dapat menurunkan risiko eksplorasi dan meningkatkan keekonomian dari proyek PLTP,” sambung Harris.

Selain program tersebut, beber Harris, Pemerintah juga menyediakan insentif ekonomi lain berupa fasilitas pengurangan pajak penghasilan berupa tax holiday, fasilitas bea masuk dan pajak dalam rangka impor, PPN dan PNBM , PPh atas impor, serta pembebasan pajak bumi dan bangunan pada tahap eksplorasi.

Tak hanya itu, Pemerintah juga mendorong kemudahan berinvestasi dengan kepemilikan asing dalam pengusahaan panas bumi.

“Hingga saat ini masih terdapat PR kita bersama di dalam pengembangan panas bumi diantaranya yakni, lokasi pengembangan prospek panas bumi di area tropical forest heritage of Sumatera, serta isu pelarangan pendayagunaan sumber daya air di kawasan konservasi. Hal tersebut membutuhkan upaya sinkronisasi regulasi antar Kementerian dan stakeholder terkait yang diharapkan segera diselesaikan,” terang Harris.

“Kami yakin bahwa keberhasilan pengembangan panas bumi harus didukung oleh berbagai pihak, sehingga target pengembangan panas bumi yang telah ditetapkan dapat kita capai,” tandasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *