PGN

Menanti Solusi Pemerintah untuk PGN

Jakarta, Ruangenergi.com – Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, meminta pemerintah untuk mencarikan solusi atas denda pajak yang harus dibayarkan PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) sebesar Rp 3,6 Triliun.

Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Ia menjelaskan, jangan sampai publik beranggapan PGN (sebagai BUMN) justru menjadi ‘anak tiri’ sehingga terbebani dengan permasalahan-permasalahan yang cukup besar.

“Saya kira PGN harus mencarikan solusi terbaiknya karena Rp 3,6 T bagi PGN dalam kondisi seperti ini sangat memberatkan PGN,” kata Defiayan, dalam diskusi online yang dihelat Ruang Energi, (04/03).

Menurutnya, dari beban pokok dan bunga serta pajak saja rata-rata hampir Rp 17 Triliun, sehingga beban pokoknya saja sudah memberatkan PGN, apalagi di tambah dengan denda pajak.

Defiyan Cori

“Ini harus ada rumusan win-win solution, usulan untuk dikonversi menjadi PMN (Penyertaan Modal Negara) bisa saja dijadikan sebuah masukan. Tetapi bagi saya, bisa saja opsi lainnya bahwa pajak PGN harus dihapuskan, toh, ini juga bagian dari kepemilikan saham negara, dan negara harus melakukan perspektif jangka Panjang,” imbuhnya.

Oleh karena itu, lanjut Defiyan, tanggung jawab pemegang saham swasta setelah di IPO (Initial Public Offering) harus dituntut untuk menyelamatkan kinerja keuangan PGN.

Akan tetapi, meski saat ini sebanyak 51% saham PGN masih milik negara. Bagaimana bentuk tanggung jawab pemerintah untuk memajukan BUMN, terlebih lagi PGN juga merupakan Sub Holding dari PT Pertamina (Persero).

“Di mana juga mereka (PGN) ada peran penugasan yang harus dijalankan oleh perusahaan yaitu membangun Jargas Rumah Tangga,” tuksanya.

Ia mengemukakan, sengketa pajak antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PGN merupakan sesuatu yang aneh dalam perspektif kepemilikan saham negara. Ibarat ‘jeruk makan jeruk’ sampai membawa perbedaan penafsiran soal obyek pajak dan bukan pajak ke pengadilan dan MA.

Menurutnya, hal aneh yang terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012, pasal 1 ayat 1 dan pasal 2 itu menyatakan, bahwa gas bumi merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ia menegaskan, pengenaan pajak pada BUMN saja sudah merupakan pelanggaran kerangka kerja logis (logical framework) atas perintah Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3.

“Maka itu, perlu adanya pembenahan pada sistem perekonomian di Indonesia, agar kasus sengketa pajak antara PGN dengan Ditjen Pajak tak terulang lagi pada institusi lain,” imbuhnya.

Terlebih lagi PGN yang menjalankan tugas pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) dari pemerintah untuk pembangunan Jaringan Gas (Jargas), seharusnya tidak dibebani dengan hal-hal lain seperti pajak yang terlalu tinggi.

“Ini akan semakin berat jika dibebankan lagi kewajiban CSR dan yang lainnya. Bagaimana mungkin perusahaan negara akan mampu memenangkan kompetisi bisnis domestik dan global, sementara korporasi swasta diberikan berbagai kemudahan dalam keadaan krisis, termasuk dimasa pandemi covid19 yang dihadapi sejak bulan Maret 2020,” tandasnya.

Salamudin Daeng

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, menilai permasalahan yang dihadapi oleh PGN terbilang sudah cukup lama yakni dari 2012-2013 lalu. Seharusnya PGN sebagai BUMN dapat melakukan penghapusan pajak melalui program Tax Amnesty.

“Menurut saya permasalahan sengketa pajak PGN sudah lama tahun 2012-2013 dan di tahun 2016 ada program tax amnesty (pengampunan pajak) yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Saya rasa adanya tax amnesty semua BUMN ikut program tersebut, mustinya masalah pajak yang lampau-lampau bisa diminta keringanan melalui tax amnesty tersebut,” jelasnya.

Ia mendapat kabar bahwa di tahun 2021 pemerintah berencana akan melakukan program tax amnesty jilid II. Tentunya ini juga bisa menjadi kesempatan bagi PGN untuk melakukan penghapusan pajak tersebut.

“Jadi kalaupun ada hutang piutang pajak seperti ini saya rasa bisa ditempuh melalui jalur tax amnesty,” katanya.

Ia melihat dari proses yang telah berlangsung pada program pengampunan pajak, sepertinya hal ini merupakan penghapusan piutang pajak pemerintah kepada swasta dan mungkin kepada BUMN.

“Kalau saya lihat program tax amnesty itu malahan penghapusan pajak pemerintah kepada swasta ataupun BUMN,” bebernya.

Selain itu, Daeng mengungkapkan, saat ini sebenarnya PGN dalam posisi sulit disektor keuangannya.

Kalau tadi dikatakan pemegang saham mayoritas PGN adalah pemerintah, kita bisa membuka sedikit perdebatan mengenai hutang PGN yang cukup besar, hutang itu kepada swasta (global bond), sementara pemerintah hanya pemegang saham PGN tapi tidak memiliki piutang di PGN.

“Jadi pemerintah berbeda dengan swasta (publik maupun internasional), pemerintah punya saham di PGN tetapi juga punya hutang, jadi secara partisipasi lebih besar mereka (swasta) dari pemerintah, sementara pemerintah hanya punya saham dan tidak punya piutang di PGN,” urainya.

“Jadi mustinya hutang-hutang ini dianggap piutang saja, karena swasta punya piutang di PGN sekitar Rp 45 Triliun. Jadi bisa dibilang separuh asset PGN itu adalah hutang,” terangnya.

Sebagaimana diketahui, asset yang dimiliki oleh PGN saat ini senilai Rp 111 Triliun, kapitalisasi pasar sekitar Rp 35 Triliun, hutangnya Rp 45 Triliun, sementara pemegang saham swasta berapa persen dari kapitalisasi pasar. Jadi, kalau ditambah jumlah hutang dari pemegang saham, bisa dikatakan saham PGN mayoritas dipegang swasta bukan Pemerintah.

“Saya lihat momentum untuk membayar hutang PGN tidak tepat untuk saat ini, karena arus kas PGN saat ini hanya sekitar Rp 3 Tiliunan. Jadi, kalau untuk bayar hutang, langsung habis arus kas PGN, lalu bisa berantakan rencana operasional PGN di 2021,” jelas Daeng.

Lapor ke Presiden

Ia menyarankan agar PGN untuk melaporkan permasalahan ini kepada Presiden (Joko Widodo), agar dapat meminta pengampunan pajak.

Putusan hukum ditingkat MA (Mahkamah Agung) yang ditujukan kepada PGN saat ini jika mau, kata Daeng, PGN juga masih ada upaya untuk menempuh jalur hukum lain.

“Tempuh saja dan lapor kepada Presiden dan bisa juga meminta tax amnesty. Jadi nggak usah diakhiri permasalah pajak ini, namanya juga pajak, itu bukan perbuatan pidana, itu kan sengketa perdata, jadi masih bisa ditempuh dengan jaur hukum juga,” katanya.

Tekan Energi Fosil

Ia juga menyoroti, bauran energi listrik yang dimiliki oleh PT PLN (Persero). Sebab menurut Daeng, penggunaan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil masih cukup tinggi hingga 2023 yakni sekitar 70%.

“Komposisi bauran energi kita sepertinya biaya untuk gas ini tinggi sekali, sementara komposisi bahan bakar dari fosil 70% masih batubara. Bisa juga ini ada permainan harga yang tidak benar, sehingga menghambat kemampuan BUMN gas kita (PGN, Pertagas) untuk bisa menjadi kontributor signifikan didalam pemenuhan energi nasional sebagai penyedia energi primer,” terang Daeng.

“Jika dilihat dari roadmap-nya PLN, itu kenapa sampai 2023 penggunaan batubara masih sebesar 70%, kenapa bukannya gas yang dibesarkan, toh ini juga untuk transisi energi ke arah energi baru terbarukan (EBT) atau energi ramah lingkungan,” sambung Daeng.

Lebih jauh, ia menjelaskan, Indonesia merupakan eskportir Liquied Natural Gas (LNG) terbesar di dunia. Akan tetapi mengapa tidak bisa digunakan untuk kebaikan.

“Kita ini ekportir LNG, salah satu penghasil gas alam terbesar di dunia, eksportir LNG terbesar di dunia, tapi kita tidak bisa memanfaatkan sumber energi ini (LNG) untuk kebaikan dan memberikan kontribusi yang besar terhadap energi nasional, karena BUMN yang bergerak di sektor ini sudah dikacau-balaukan,” beber Daeng.

Lebih jauh ia mengemukakan bahwa Indonesia harus berubah dan lebih mementingkan keselamatan rakyat daripada lebih mementingkan penggunaan energi murah akan tetapi menghasilkan emisi karbon dan dapat merusak lingkungan.

“Menurut saya, ini harus dirubah, liat keadaaan, siasati dan masuk kepada tema ekonomi nasional, masuk kepada usaha meraih keselamatan rakyat kita dari penggunaan energi yang menghasilkan emisi karbon. Saatnya beralih ke energi yang lebih bersih seperti gas,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *