Jakarta, ruangenergi.com-Sosok Subroto sangat membekas di hati penulis. Jauh sebelum mengenalnya secara pribadi pada tahun 1978, penulis hanya mengenangnya lewat TV, dengan ciri khas dasi kupu-kupu hitamnya. Lima tahun sebelum wafat, penulis berkesempatan mengenal Subroto secara langsung.
Sebagai Sekjen Keluarga Alumni Universitas Teknik Gadjah Mada (KATGAMA), penulis mengabarkan bahwa Subroto menerima Herman Johannes Award 2018 dari Fakultas Teknik UGM. Penulis kembali bertemu dengan Subroto saat menjadi juri penghargaan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Meski prestasi dan pengabdiannya luar biasa, Subroto tetap rendah hati, selalu tersenyum, dan berpikir positif. Dengan perjalanan karir dan pemikiran mendalam di bidang energi, sangat tepat namanya diabadikan sebagai nama penghargaan di bidang energi oleh ESDM.
Pemikiran kritis Subroto tentang kondisi energi di Indonesia perlu diangkat kembali untuk mengevaluasi arah pembangunan energi dan pertambangan. Sektor pertambangan terus mendapat sorotan negatif, sehingga perlu perbaikan tata kelola ke depannya.
Meskipun ada catatan positif, tata kelola pertambangan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Kebijakan otonomi daerah telah memperumit perbaikan tata kelola. Masyarakat yang kritis terhadap kondisi pertambangan di Indonesia harus diapresiasi, karena tuntutan mereka untuk tata kelola yang berlandaskan prinsip pembangunan berkelanjutan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sangatlah wajar. Pelaku usaha pertambangan harus menyadari bahwa mereka hanya memiliki hak pengusahaan (economic right) dari pemerintah.
KONDISI PERIZINAN TAMBANG
Indonesia memiliki potensi sumber daya mineral dan batubara yang besar, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara. Namun, untuk mineral, Indonesia terlambat dalam melakukan pemurnian, termasuk di sektor industri semi-fabrikasi dan fabrikasi. Demikian pula, pengelolaan produksi batubara nasional menghadapi tantangan, dengan ratusan izin pertambangan yang dikeluarkan dan masalah pertambangan ilegal.
Berbagai masalah ini diakibatkan oleh kesalahan pemerintah yang tidak memiliki visi jangka panjang dalam pengelolaan mineral dan batubara. Pasca otonomi daerah, pemerintah daerah diberi wewenang luas, yang justru melahirkan ribuan IUP dengan berbagai permasalahan. Hubungan erat antara penguasa dan pengusaha tambang serta politik uang dalam pilkada semakin memperumit kondisi ini. Meskipun pemerintah pusat telah menarik kembali kewenangan perizinan pertambangan, masalah tata kelola masih belum sepenuhnya terselesaikan.
MENGELOLA MINERBA
Dalam hal hilirisasi mineral, terjadi keterlambatan pemetaan kebutuhan mineral oleh industri di dalam negeri. Harmonisasi kebijakan pertambangan dan perindustrian belum sepenuhnya terbangun. Hilirisasi seharusnya dipersiapkan jauh sebelumnya agar memberikan manfaat optimal, seperti nilai tambah, serapan tenaga kerja, peningkatan ekspor, serta pengembangan sumber daya manusia dan riset.
Perbaikan tata kelola pertambangan mencakup seluruh proses, mulai dari eksplorasi hingga penutupan tambang. Tata kelola ini bukan hanya kewenangan Kementerian ESDM, tetapi juga melibatkan Kementerian Perindustrian dalam pembangunan Izin Usaha Industri (IUI) pengolahan dan pemurnian.
Subroto memiliki pandangan strategis tentang batubara sebagai modal energi untuk memastikan keamanan, keterjangkauan, dan ketersediaannya di dalam negeri. Tata kelola pertambangan batubara harus mampu mengintegrasikan seluruh aktivitas dari hulu hingga hilir.
Pada awal tahun 90-an, saat China menjadi eksportir terbesar batubara dunia, Indonesia masih berada di posisi kelima. Namun, China melakukan langkah strategis dengan mengalihkan produksi batubara untuk kebutuhan listrik nasional, sementara Indonesia justru menjadikan batubara sebagai komoditas perdagangan. Meskipun ada upaya untuk membatasi produksi nasional, kebijakan tersebut tidak berhasil, dengan produksi batubara nasional terus meningkat setiap tahunnya.
IUPK ORMAS KEAGAMAAN
Pemberian izin pertambangan bagi ormas keagamaan telah menimbulkan perdebatan. Terbitnya PP No.25 Tahun 2025 merupakan realisasi komitmen Presiden Jokowi pada Muktamar ke-34 NU di Lampung. Presiden menawarkan konsesi minerba kepada ormas keagamaan agar mereka memiliki sumber penghasilan baru untuk membiayai aktivitas mereka.
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan didasarkan atas kontribusi besar mereka dalam perjalanan Republik Indonesia. Namun, ormas keagamaan yang mendapatkan WIUPK harus mengelola tambang secara profesional, sesuai dengan kaidah pertambangan yang benar.
MEMBANGUN TATA KELOLA
Membangun tata kelola pertambangan harus sejalan dengan rencana pembangunan nasional dan daerah. Tata kelola ini harus ditetapkan untuk jangka panjang, dengan mempertimbangkan kebijakan transisi energi negara importir dan rencana Net Zero Emission (NZE) 2060 di dalam negeri. Dalam pengelolaan total produksi nasional, peta arah Energi Baru Terbarukan (EBT) harus diperhitungkan.
Dengan produksi yang mendekati 1 milyar ton per tahun, Indonesia hanya memiliki cadangan batubara untuk 30 tahun ke depan. Dengan cadangan sebesar 35,05 milyar ton (Badan Geologi ESDM, 2022), Indonesia bukanlah negara dengan cadangan batubara terbesar di dunia, meskipun menjadi eksportir terbesar. Sebaliknya, China dan India, dua negara importir terbesar batubara Indonesia, memiliki cadangan yang jauh lebih besar.
Upaya mempercepat industri nilai tambah batubara melalui mandatori yang diamanahkan kepada IUPK perpanjangan PKP2B belum berhasil. Insentif pengurangan tarif royalti, penetapan harga khusus, dan masa berlaku IUPK belum mampu mendorong kemajuan nilai tambah batubara di dalam negeri. Mandatori dalam UU Minerba No.3 Tahun 2020 yang awalnya ditujukan untuk mengurangi substitusi impor LPG melalui dymethil ether (DME), akan dipermudah dengan produk selain DME.
Demikian pula, mineral termasuk mineral ikutan dan logam tanah jarang belum dioptimalkan untuk penyediaan bahan baku industri nasional. Kebijakan mineral dan batubara Indonesia menegaskan bahwa nilai tambah harus mampu menumbuhkan inovasi teknologi, ketahanan, dan pertahanan nasional, serta memperkuat kapasitas kompetensi nasional dalam persaingan global. Tata kelola pertambangan harus mengikuti perundangan yang berlaku serta tujuan strategis sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945.
PENUTUP
Memperbaiki tata kelola pertambangan nasional harus mampu menjawab berbagai masalah yang dihadapi industri pertambangan. Pengelolaan mineral dan batubara, potensi terhapusnya Wilayah Pencadangan Negara (WPN), serta peningkatan eksplorasi dan dana ketahanan cadangan harus dipersiapkan dengan baik.
Kebijakan tata kelola pertambangan harus mampu menjawab berbagai hak dalam pengelolaan sumber daya alam; hak penguasaan negara dalam amanah Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, yang berarti hak penguasaan (authority right) berada di tangan negara. Negara memiliki hak penguasaan, bukan hak kepemilikan sumber daya alam, karena hak kepemilikan (mineral right) dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah hanya memiliki hak pengelolaan (mining right). Pelaku usaha pertambangan, baik IUP/IUPK, termasuk ormas keagamaan, hanya memiliki hak pengusahaan (economic right).
Mengingat berbagai permasalahan hukum di industri pertambangan, untuk membangun tata kelola yang baik serta memastikan pengawasan, regulasi, dan pelayanan publik yang efektif, sebaiknya Kementerian ESDM dipisah menjadi dua: Kementerian Mineral dan Batubara, serta Kementerian Energi dan Petrokimia.
—swd—
Penulis: Singgih Widagdo
Alumnus Fakultas Teknik Geologi UGM dan Magister Hukum UGM. Lama berkarier di industri pertambangan batubara, terakhir di PT. Berau Coal. Salah satu founder Majalah CoalAsia, sekaligus sebagai patron dan penulis opini tetap. Juga aktif menulis opini terkait energi di berbagai media nasional. Selain menjadi pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), bersama teman-teman yang memiliki perhatian sama di bidang energi, membentuk Indonesian Mining & Energi Forum (IMEF). Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA). Dua tahun lalu dipercaya sebagai Komisaris PT. PLN Energi Primer Indonesia (PT. PLN EPI).