Jakarta, ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai bahwa sebelum memulai kembali program kompor listrik, pemerintah perlu melihat ulang urgensi proyek tersebut. Ia mempertanyakan apa sebenarnya target yang mau dicapai pemerintah sehingga ngotot jalan terus dalam proyek ini.
Ia mengatakan ketidakjelasan target dan tujuan kebijakan kompor listrik pada akhirnya menjadi hambatan utama program tersebut.
“Orang kaya tidak perlu dijadikan target bantuan, mereka punya banyak sekali opsi sumber energi yang dapat mereka manfaatkan. Orang-orang kaya hanya perlu regulasi pendukung supaya mereka tidak dapat membeli BBM dan LPG bersubsidi dengan target masyarakat golongan menengah ke bawah,” kata Daymas pada Kamis, (18/01/2023).
Energy Watch menegaskan solusi kebutuhan energi rumah tangga di Indonesia tidak bisa dipukul rata kudu memakai kompor listrik. Misalnya, masyarakat yang tinggal di pesisir lebih layak mendapatkan kompor surya. Pasalnya, sumber energi surya banyak tersedia di lingkungan mereka.
Sebaliknya, masyarakat perkotaan menurutnya lebih pas disesuaikan dengan keberadaan sumber jaringan gas alam yang tersedia. Begitu pula dengan warga di sektor pertanian atau peternakan bisa didorong menggunakan kompor biogas.
Sebelumnya, Usai hilang dari permukaan sejak September 2022 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mencoba kembali menyemai proyek kompor listrik. Luhut disebut memberi titah agar program yang sudah dikubur itu bisa dikaji ulang.
“Kemarin Pak Luhut mimpin rapat, saya hadir untuk dimulai lagi kompor induksi. Jadi, kemarin yang sempat dihentikan coba dikaji lagi, dimulai lagi,” klaim Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Kementerian ESDM Djoko Siswanto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (17/1).
Bedanya, sekarang orang kaya yang akan menjadi target utama. Kelas menengah atas disasar untuk membantu memuluskan proyek kompor listrik ini.
Djoko menyebut biaya pembagian kompor induksi sebesar Rp2 juta cukup mahal bagi masyarakat miskin menjadi alasannya. Beda dengan orang kaya, di mana mereka juga tak perlu berkelahi dengan dilema menaikkan daya listrik.
“Kalau dimulai dari masyarakat yang miskin, ya tidak akan mulai-mulai transisi, sampai sekarang angkanya rendah terus. Jadi, kompor induksi terus digalakkan, tidak diberhentikan, namun dimulai dari menengah ke atas,” tutupnya.