Sistem kelistrikan

EBT dan Hak plus Kewajiban Siapa Bangun Pembangkit dan Transmisi?

Jakarta, ruangenergi.com-Menikmati energi baru terbarukan (EBT) menjadi hak siapapun di negeri ini.

Energi dari matahari, air, bayu, panas bumi, bio massa hingga energi nuklir merupakan bagian tak terpisahkan keberdaannya dalam ranah EBT.

Di Indonesia semua potensi EBT ada dan melimpah ruah. Sebut saja energi surya, sebagai negeri tropis sudah pasti melimpah ruah sinar matahari menerpa negeri yang juga ada di garis khatulistiwa.

Potensi EBT tadi bisa dipakai untuk menghasilkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit. Sumber EBT untuk diolah menjadi listrik tentu saja butuh pembangkit untuk bisa memproduksikan listriknya dan pembangkit tentu saja membutuhkan jaringan kabel transmisi dan distribusi agar sampai ke konsumen, baik industri maupun rumah tangga.

Belakangan, menjadi buah bibir di mana-mana issue tentang power wheeling merebak di Indonesia. Sosok yang santer diperdebatkan siapapun di sektor ketenagalistrikan di negeri ini.

Power Wheeling (PW) merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Ini artinya PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit langsung menjual listrik

Jikalau mau bicara fair, logikanya pelanggan yang menikmati energi terbarukan peelu sadar bahwa energi yang dinikmati berkat adanya jalur transmisi dan distribusi milik negara.

Tidak hanya itu, beberapa pihak  merasa berhak atas listrik dari sumber energi yang mereka dapatkan maka kami berhak menggunakan transmisi  milik negara secara gratis.

Padahal konsep PW semestinya ente (baca;kamu) produksi sumber listrik, dialirkan pakai jalur transmisi dan distribusi ya bayarlah ke negara. Begitupun negara yang membayar ke produsen yang sudah bisa menghasilkan energi utk pembangkit. Win-win solutions jadinya, bukan pemaksaan sepihak saja.

Memang ya, bangun transmisi sendiri itu sulit dan mahal karena investasi untuk itulah yang gede dan sulit dilakukan. Maka konsep PW ini juga perlu memastikan biaya sewanya B2B antara negara dengan Produsen yang mau jualan listriknya.

Sangat tidak fair jikalau pemilik sumber daya EBT jual listrik tanpa membangun jaringan kabel transmisi dan distribusi. Betul tidak fair, salah satunya karena kalau ada risiko kelistrikan tetap larinya ke negara, termasuk risiko dari sifat intermitensi pembangkit EBT nya

Para pihak tersebut mau seenak jidat saja tanpa berpikir berapa investasi yang negara bangun untuk transmisi dan distribusi plus pembangkit, membebankan pembangunan kabel transmisi dan distribusi ke negara. Betapa gawatnya kalau Indonesia dilistriki oleh swasta. Bisa seenak jidat mereka naik turunkan harga jual listrik ke pembeli/masyarakat

Di US ketika musim dingin, teman cerita betapa pelanggan listrik berasa berat bayar tagihan listrik karena beban pembelian gas dibebankan ke pelanggan. Itu baru pembangkit gas.

Bagaimana kalau terjadi di pembangkit surya? Ketika matahari enggan beranjak dari singgasananya, maka sulitlah PLTS menangkap sinar matahari. Akhirnya, terpaksa beli listrik lewat negara, dan tentu saja ini yang tak layak dilakukan.

Perlu diketahui, pengembangan EBT ini sudah disusun sedemikian rupa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Ini lah yang jadi pondasi untuk pembangunan EBT ke depan.

Dengan PW, tiba-tiba saja pembangunan bisa dilakukan siapapun tanpa melihat RUPTL lagi dengan konsep wheeling dan PLN wajib menyewakan asetnya untuk melayani jual beli orang lain.

Kira-kira bagaimana menurut Anda?

Opini oleh : Mardani Surya Hutama, Praktisi EBT

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *